Pasal ini dan kedua pasal berikutnya berisi sebuah khotbah; khotbah yang terkenal, yaitu Khotbah di Bukit. Dari antara semua catatan dalam keempat Injil, ini adalah percakapan utuh yang terpanjang dan terlengkap Juruselamat kita. Percakapan ini bersifat praktis, tidak banyak mengetengahkan doktrin kepercayaan Kristen – yakni hal-hal yang harus dipercayai – melainkan sepenuhnya menyinggung rencana tindakan – yakni hal-hal yang harus dilakukan. Hal-hal inilah yang dibicarakan Kristus ketika mengawali khotbah-Nya ini, sebab barangsiapa yang mau melakukan kehendak-Nya, dia harus tahu apakah pengajaran-Nya itu berasal dari Allah atau bukan. Dalam ayat 1 dan 2, keadaan yang mendahului khotbah itu dijelaskan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan khotbah itu sendiri. Khotbah ini tidak bertujuan untuk mengisi kepala kita dengan gagasan-gagasan semata, melainkan untuk membimbing dan mengatur perilaku kita.
I. Ia menawarkan kebahagiaan sebagai tujuan khotbah-Nya dan menggambarkan ciri-ciri orang yang layak menerima kebahagiaan itu (yang sangat berbeda dengan gagasan-gagasan orang dunia yang sia-sia), dalam bentuk delapan ucapan bahagia yang isinya bisa dikatakan sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada (ay. 3-12).
II. Ia menetapkan kewajiban sebagai cara yang harus dilakukan, dan memberi kita aturan untuk menjalankannya. Ia menuntun murid-murid-Nya
1. Untuk mengerti siapa mereka sebenarnya – garam dunia dan terang dunia (ay. 13-16).
2. Untuk mengerti apa yang harus mereka lakukan – mereka harus dikuasai oleh hukum moral. Dalam bagian ini terdapat
(1) Pengesahan hukum tersebut secara umum dan anjuran bagi kita untuk menjadikannya aturan bagi kita (ay. 17-20).
(2) Pembetulan khusus atas berbagai kesalahan, atau lebih tepat, reformasi atas berbagai hal yang sudah sangat rusak yang dilakukan dengan sengaja, yang diperkenalkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi melalui uraian mereka tentang hukum itu. Juga terdapat penjelasan terperinci dan sah tentang berbagai aturan hukum yang paling perlu dijelaskan dan dipertahankan (ay. 20). Khususnya, di sini terdapat penjelasan terperinci
[1] Tentang perintah keenam yang melarang pembunuhan (ay. 21-26).
[2] Tentang perintah ketujuh yang melarang perzinahan (ay. 27-32).
[3] Tentang perintah ketiga (ay. 33-37).
[4] Tentang hukum pembalasan (ay. 38-42).
[5] Tentang hukum kasih persaudaraan (ay. 43-48). Secara keseluruhan, semuanya ini menunjukkan bahwa hukum tersebut bersifat rohani.
1 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. 2 Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:
Dalam ayat-ayat di atas kita melihat gambaran umum tentang khotbah ini.
I. Pengkhotbahnya adalah Tuhan Yesus, Raja atas segala pengkhotbah, Nabi Agung dari jemaat-Nya, yang datang ke dunia, untuk menjadi Terang dunia. Para nabi dan Yohanes Pembaptis telah melakukan dengan baik dalam memberitakan firman Tuhan, tetapi Kristus melebihi mereka semua. Dia adalah Hikmat yang keal, yang ada di pangkuan Bapa bahkan sebelum dunia ada, dan mengetahui kehendak Allah dengan sempurna (Yoh. 1:18). Dia adalah Firman yang kekal, dan melalui Firman itu Ia telah berbicara kepada kita pada zaman akhir ini (Ibr. 1:2). Banyak mujizat kesembuhan yang diadakan Kristus di Galilea, yang telah kita baca pada bagian akhir pasal sebelumnya, dimaksudkan untuk menjadi pembuka jalan bagi khotbah ini, dan untuk menyiapkan hati orang untuk menerima pengajaran dari Dia yang memiliki kuasa dan kebaikan ilahi yang begitu besar. Mungkin khotbah ini juga merupakan ringkasan atau pengulangan dari apa yang telah dikhotbahkan-Nya di rumah-rumah ibadat di Galilea. Inti khotbah-Nya adalah, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat.” Khotbah yang sekarang ini adalah mengenai bagian pertama dari inti khotbah tersebut, yaitu untuk menunjukkan apa arti bertobat itu. Artinya adalah pembaruan diri, baik dalam pengakuan maupun dalam praktik. Di sini Yesus mengatakan kepada kita bagaimana kita melakukannya, sebagai jawaban atas pertanyaan, “Dengan cara bagaimanakah kami harus kembali?” (Mal. 3:7). Setelah itu, Ia berkhotbah tentang bagian terakhir dari perikop itu, yaitu dengan menjelaskan seperti apa Kerajaan Sorga itu melalui perumpamaan-perumpamaan (pasal 13).
II. Tempatnya di atas sebuah bukit di Galilea. Sama seperti hal-hal lain, dalam hal ini pun Tuhan Yesus tidak dilengkapi dengan tempat yang layak. Dia tidak memiliki tempat yang nyaman untuk berkhotbah di dalamnya, seperti pula tempat untuk meletakkan kepala-Nya, sementara para ahli Taurat dan orang-orang Farisi memiliki kursi Musa sebagai tempat duduk mereka, penuh dengan kemudahan, kehormatan, dan kebesaran, namun di situlah mereka duduk sambil merusak hukum. Sebaliknya, Tuhan Yesus, Sang Guru Kebenaran yang Agung, justru dihalau keluar ke padang gurun, dan tidak ada yang bisa ditemukan-Nya sebagai mimbar selain sebuah bukit, dan bukit ini pun bukanlah salah satu dari gunung-gunung kudus, bukan pula dari gunung-gunung Sion, melainkan hanya sebuah bukit biasa saja. Melalui hal ini Kristus mungkin hendak mengisyaratkan bahwa sekarang di dalam Injil tidak ada tempat-tempat istimewa yang kudus seperti ini lagi, tidak seperti yang sebelumnya ada dalam hukum Taurat. Yang menjadi kehendak Allah sekarang adalah agar manusia berdoa dan memberitakan firman-Nya di mana-mana, di mana saja, asal dilakukan dengan pantas dan tepat. Kristus menyampaikan khotbah yang merupakan uraian tentang hukum Taurat ini dari atas bukit, sebab di atas gunung jugalah hukum Taurat diberikan. Khotbah ini juga merupakan pewartaan hukum Kristiani secara terbuka. Namun, amatilah perbedaannya, ketika hukum Taurat diberikan, Tuhan turun ke gunung itu, tetapi sekarang, Tuhan naik ke atasnya. Dahulu, Ia berbicara melalui guntur dan kilat, sekarang Ia berbicara melalui bunyi angin sepoi-sepoi basa. Dahulu, orang-orang disuruh berdiri jauh-jauh, sekarang mereka diundang untuk datang mendekat. Betapa indahnya perubahan yang terjadi! Jika anugerah dan kebaikan Allah merupakan kemuliaan Allah (yang memang demikian adanya), maka kemuliaan Injil adalah kemuliaan yang melebihi segalanya, sebab anugerah dan kebenaran datang melalui Yesus Kristus (2Kor. 3:7; Ibr. 12:18). Telah dinubuatkan tentang Zebulon dan Isakhar, dua suku dari daerah Galilea (Ul. 33:19), bahwa bangsa-bangsa akan dipanggil mereka datang ke gunung. Ke gunung inilah kita dipanggil, agar belajar mempersembahkan korban sembelihan yang benar. Sekarang bukit ini merupakan gunung Tuhan, tempat Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya (Yes. 2:2-3; Mi. 4:1-2).
III. Para pendengar adalah murid-murid-Nya yang datang kepada-Nya. Tampaknya mereka datang karena dipanggil oleh-Nya (bdk. Mrk. 3:13, Luk. 6:13). Kepada merekalah Ia mengarahkan pengajaran-Nya, sebab mereka mengikuti-Nya karena terdorong oleh kasih dan keinginan untuk belajar, sementara yang lain hanya datang untuk mencari kesembuhan. Ia mengajar mereka, sebab mereka bersedia diajar (Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati [Mzm. 25:9]); sebab mereka mau mengerti apa yang diajarkan-Nya, yang bagi orang lain hanyalah suatu kebodohan. Ia juga mengajar mereka karena kelak mereka harus mengajarkannya kepada orang lain, dan oleh sebab itu wajiblah kalau mereka sendiri harus memiliki pengetahuan yang jelas dan nyata mengenai hal-hal tersebut. Kewajiban-kewajiban yang digambarkan dalam khotbah ini harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh semua orang yang akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, yang untuk mendirikannyalah mereka diutus, dengan harapan akan mendapatkan manfaat darinya. Namun, meskipun khotbah ini ditujukan kepada para murid, orang banyak itu pun turut mendengarnya, sebab dikatakan (7:28), Takjublah orang banyak itu. Di atas bukit ini tidak ada larangan bagi orang banyak untuk datang mendekat, seperti yang terjadi di Gunung Sinai (Kel. 7:28), sebab melalui Kristus, kita beroleh jalan masuk menuju Allah, bukan saja untuk berbicara kepada-Nya, tetapi juga untuk mendengar dari-Nya. Saat menyampaikan khotbah,
Ia juga memperhatikan orang banyak itu. Ketika kemasyhuran mujizat-mujizat-Nya menarik orang banyak datang berkerumun, Ia mengambil kesempatan untuk mengajar khalayak ramai yang terkumpul itu. Perhatikanlah, bagi seorang pelayan Tuhan yang setia, sungguh membakar semangat kalau bisa melemparkan jala Injil ke tempat di mana banyak jiwa berkumpul, dengan harapan ada sejumlah orang yang akan terjaring. Saat melihat orang banyak, hati seorang pengkhotbah akan bersemangat, namun dorongan yang timbul haruslah demi kepentingan orang banyak itu, dan bukan untuk kehormatan diri sendiri.
IV. Khotbah ini sangat khidmat, seperti tampak dalam kata-kata setelah Ia duduk. Kristus memang sering berkhotbah, tetapi biasanya dalam bentuk dialog atau percakapan. Namun, kali ini khotbah-Nya sangat khidmat seperti yang biasa dilakukan orang, kathisantos autou, ketika Ia duduk agar dapat didengar sebaik mungkin. Ia duduk sebagai seorang Hakim atau Pemberi Hukum. Hal ini menyiratkan betapa hal-hal mengenai Allah harus dibicarakan dan didengar dengan penuh ketenangan pikiran serta kesabaran hati. Ia duduk, agar Kitab Suci digenapi (Mal. 3:3), Ia akan duduk seperti orang yang memurnikan dan mentahirkan perak, untuk membersihkan ajaran anak-anak Lewi yang sudah rusak. Sebagai Hakim yang adil Ia duduk di atas takhta (Mzm. 9:5), sebab perkataan-Nya akan menghakimi kita. Kalimat Maka Yesus pun mulai berbicara (Dalam kjv: Ia membuka mulut-Nya – pen.) diterjemahkan dari ungkapan bahasa Ibrani yang artinya “berbicara,” seperti dalam Ayub 3:1. Namun, menurut beberapa orang, ungkapan Ia membuka mulut-Nya juga mengisyaratkan kesungguhan dari khotbah ini. Dengan ungkapan “membuka mulut,” maksudnya, Yesus menaikkan suara-Nya supaya bisa berbicara dengan lebih keras lagi daripada biasanya, karena kerumunan orang yang sangat banyak itu. Dahulu Ia berbicara dengan perantaraan semua hamba-Nya, para nabi, dan membuka mulut mereka (Yeh. 3:27; 24:27; 33:22), tetapi sekarang Ia membuka mulut-Nya sendiri, dan berbicara dengan bebas, sebagai orang yang berkuasa. Salah seorang penulis klasik berkata mengenai hal ini, bahwa Kristus mengajar banyak tanpa membuka mulut-Nya melainkan melalui teladan kehidupan-Nya yang kudus. Demikianlah, meskipun saat dibawa ke pembantaian seperti seekor domba, Ia tidak membuka mulut-Nya, namun sekarang Ia membuka mulut-Nya, saat Ia mengajar, agar genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci. Dalam Amsal 8:1-2, 6 tertulis, Bukankah hikmat berseru-seru … di atas tempat-tempat yang tinggi? Dan juga, membuka bibir tentang perkara-perkara yang tepat. Ia mengajar mereka, sesuai dengan janji, Semua anakmu akan menjadi murid Tuhan (Yes. 54:13). Untuk tujuan inilah Ia memiliki lidah seorang murid (Yes. 50:4) dan Roh TUHAN Allah (Yes. 61:1). Ia mengajar mereka tentang kejahatan apa saja yang harus mereka benci, dan kebaikan apa yang harus mereka kerjakan dan miliki dengan berlimpah, sebab Kekristenan bukanlah sesuatu yang berada di awan-awan, tetapi sudah dirancang untuk mengatur jalan pikiran kita dan tujuan percakapan kita. Masa Injil adalah masa pembaruan (Ibr. 9:10), dan melalui Injil-lah kita harus diperbarui, harus dijadikan baik, harus dijadikan lebih baik. Kebenaran, seperti yang ada di dalam Yesus, adalah kebenaran seperti yang tampak dalam ibadah (Tit. 1:1).
3 “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. 4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. 5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. 6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. 7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. 8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. 9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. 10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. 11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. 12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.”
Kristus mengawali khotbah-Nya dengan ucapan-ucapan berkat, sebab Ia datang ke dunia untuk memberkati kita (Kis. 3:26), sebagai Imam Besar yang kita akui, sebagai Melkisedek yang terberkati, sebagai Dia yang oleh-Nya semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat (Kej. 12:3). Ia datang bukan saja untuk membawa berkat bagi kita, melainkan juga untuk mencurahkan dan menyatakannya ke atas kita. Di sini Ia melakukannya sebagai orang yang berkuasa, sebagai orang yang mampu memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya, dan itulah berkat yang di sini berulang kali dijanjikan kepada orang-orang benar. Kalau Ia menyebut mereka berbahagia, maka jadilah mereka seperti itu, sebab mereka yang diberkati-Nya, benar-benar akan terberkati. Perjanjian Lama diakhiri dengan kutuk (Mal. 4:6), sedangkan Injil diawali dengan berkat, karena untuk itulah kita dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat. Setiap berkat yang diucapkan Kristus di sini mempunyai tujuan ganda
1. Untuk menunjukkan siapa yang benar-benar dapat disebut berbahagia, dan seperti apa watak mereka.
2. Apa saja yang terkandung dalam kebahagiaan yang sejati, yakni dalam janji-janji yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki watak-watak tertentu yang membuat mereka berbahagia itu. Sekarang perhatikan lagi:
(1) Hal ini dirancang untuk meralat kekeliruan-kekeliruan yang merusak dalam dunia yang buta dan bersifat kedagingan ini. Kebahagiaan merupakan hal yang dicari-cari manusia. Siapa yang akan memperlihatkan yang baik kepada kita? (Mzm. 4:7). Namun, kebanyakan orang pada akhirnya akan keliru dan membentuk gagasan yang salah mengenai kebahagiaan, sehingga tidak heran kalau mereka salah jalan. Mereka memilih khayalan mereka sendiri dan bersahabat dengan bayangan. Pendapat umum yang berlaku adalah, Berbahagialah orang yang kaya, yang hebat, yang terhormat di dunia, karena orang-orang demikian menghabiskan waktu dalam kegembiraan dan hidup mereka dalam kesenangan. Mereka melahap lemak, mereguk minuman manis, dan memamerkan semua yang dimiliki dengan sombong, serta mengingini semua orang membungkuk di hadapan mereka. Berbahagialah semua orang yang demikian keadaannya. Rancangan, maksud, dan tujuan mereka semuanya sama seperti ini. Mereka memuji orang yang loba (Mzm. 10:3); mereka ingin menjadi kaya. Sekarang Tuhan Yesus telah datang untuk meralat kesalahan yang mendasar ini, untuk mengajukan sebuah pandangan yang baru, dan untuk memberi kita gagasan yang berbeda mengenai apa itu kebahagiaan dan apa itu yang disebut orang-orang yang berbahagia. Meskipun hal ini tampak berlawanan bagi orang-orang yang penuh prasangka, namun, bagi semua orang yang telah mendapat penerangan yang baik, pandangan baru ini merupakan aturan dan ajaran yang berbicara mengenai kebenaran kekal dan kepastian, dan berdasarkan semuanya ini kita nanti akan dihakimi. Oleh sebab itu, bila hal ini yang menjadi awal pengajaran Kristus, maka awal dari kehidupan sehari-sehari orang Kristen pun harus mengikuti ukuran kebahagiaan menurut dalil-dalil (atau dasar-dasar) kebahagiaan yang diajukan Kristus itu, dan usaha untuk mencari kebahagiaan itu harus disesuaikan dengan dalil-dalil tersebut.
(2) Isi khotbah itu dirancang untuk menghapus rasa tawar hati orang-orang yang lemah dan miskin yang telah menerima Injil, dengan meyakinkan mereka bahwa Injil-Nya bukan hanya untuk membahagiakan orang-orang yang berlimpah dengan karunia dan anugerah, yang penuh dengan penghiburan dan yang banyak memberikan hasil saja, melainkan juga untuk membahagiakan mereka yang terkecil dalam Kerajaan Sorga, yang hatinya tulus di hadapan Allah. Mereka ini akan berbahagia mendapat kehormatan dan berbagai hak istimewa dari Kerajaan Sorga itu.
(3) Khotbah itu dirancang untuk mengundang jiwa-jiwa datang kepada Kristus, dan untuk mempersiapkan jalan bagi hukum-Nya agar dapat masuk ke dalam hati mereka. Kristus bukan mengucapkan berkat-berkat ini di akhir khotbah sebagai salam perpisahan dengan khalayak ramai itu, tetapi di awalnya, untuk mempersiapkan mereka bagi hal-hal yang akan dikatakan selanjutnya. Hal ini bisa mengingatkan kita akan Gunung Gerizim dan Gunung Ebal (Ul. 27:12 dst.), ketika itu hukum berkat dan kutuk dari hukum Taurat dibacakan di hadapan umat Israel. Di sana kutuk dinyatakan, dan berkat hanya disiratkan saja (tidak dinyatakan terang-terangan). Sebaliknya, di sini, dalam khotbah Kristus ini, berkat dinyatakan, dan kutuk hanya disiratkan saja. Dalam kedua peristiwa ini, kehidupan dan kematian diperhadapkan kepada kita. Namun, hukum (Taurat) itu tampaknya lebih berfungsi untuk menekankan kematian, yakni untuk menjauhkan kita dari dosa. Tetapi, Injil berfungsi sebagai pemberi kehidupan, untuk menarik kita kepada Kristus, yang hanya di dalam diri-Nya saja segala kebaikan akan diperoleh. Orang-orang yang telah melihat berbagai kesembuhan mulia yang dibuat tangan-Nya (4:23-24), dan sekarang mendengar kata-kata mulia yang diucapkan-Nya, akan berkata bahwa Dia sepenuhnya adalah kasih dan manis.
(4) Khotbah-Nya dirancang untuk menetapkan dan meringkaskan pasal-pasal kesepakatan antara Allah dan manusia. Jangkauan dari penyataan ilahi itu adalah untuk memberitahukan kita mengenai apa yang diharapkan Allah dari kita dan apa yang kemudian boleh kita harapkan dari-Nya. Dan selain dalam khotbah ini, tidak ada tempat lain lagi di mana semuanya ini dirumuskan dengan begitu lengkap, dan semuanya dihubungkan dengan tepat satu sama lainnya. Inilah Injil yang perlu kita percayai, karena apalah artinya iman kalau tidak ada persesuaian dengan sifat-sifat yang diuraikan dalam khotbah ini dan kalau tidak ada kebergantungan pada janji-janji ini? Di sini, jalan menuju kebahagiaan dibuka dan dijadikan jalan raya (Yes. 35:8), dan ini keluar dari mulut Yesus Kristus, yang mengisyaratkan bahwa dari Dia dan oleh Dia-lah kita akan menerima baik benih maupun buahnya, baik anugerah yang diperlukan maupun kemuliaan yang dijanjikan. Tidak ada yang dapat melintas di antara Allah dan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa kecuali melalui tangan-Nya. Berbeda dari kebanyakan orang, beberapa orang kafir yang bijaksana memiliki pemahaman mengenai hidup yang diberkati dan tampak mendekati pengertian yang diberikan Penyelamat kita. Seneca, misalnya, yang berusaha menggambarkan apa itu orang yang diberkati atau berbahagia, berpendapat bahwa hanya orang yang jujur dan baik yang dapat disebut demikian, De Vita Beata (bab 4). Cui nullum bonum malumque sit, nisi bonus malusque animus – Quem nec extollant fortuita, nec frangant – Cui vera voluptas erit voluptatum contemplio – Cui unum bonum honestas, unum malum turpitudo. – Bagi orang (yang diberkati atau berbahagia) tersebut, tidak ada yang baik atau jahat, yang ada hanyalah hati yang baik atau jahat – Baginya tidak ada kejadian yang bisa membuatnya menjadi sombong atau jatuh – Yang kesenangan sejatinya adalah menganggap hina kesenangan – Baginya satu-satunya hal yang baik adalah kebajikan, dan satu-satunya kejahatan adalah perbuatan keji.
Di sini Juruselamat kita memberikan delapan sifat orang yang diberkati atau berbahagia, yang melambangkan kebaikan-kebaikan utama orang Kristen. Untuk setiap sifat itu, suatu berkat atau kebahagiaan untuk masa kini dinyatakan, berbahagialah orang yang, dan untuk masing-masing juga dijanjikan suatu berkat untuk masa akan datang, yang diungkapkan dengan berbagai cara yang sesuai dengan sifat kebaikan atau kewajiban yang disarankan untuk dilakukan.
Jadi, siapakah sebenarnya yang disebut berbahagia? Jawabannya adalah:
I. Orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang yang berbahagia (ay. 3). Ada kemiskinan rohani yang begitu menghalangi orang menerima berkat atau kebahagiaan, sehingga merupakan dosa dan jerat, seperti kekecutan hati dan ketakutan mendasar, serta kesediaan untuk menyerah pada hawa nafsu. Namun, kemiskinan jiwa yang disebut di sini adalah suatu keadaan jiwa yang mulia, di mana kita dikosongkan agar dapat diisi oleh Yesus Kristus. Menjadi miskin di hadapan Allah berarti:
1. Merasa puas di tengah kemiskinan, bersedia dikosongkan dari kekayaan duniawi jika hal itu menjadi kehendak Allah bagi kita, dan menilik keadaan kita saat kita sedang dalam kondisi yang kurang. Di dunia ini banyak orang yang miskin tetapi penuh keangkuhan, miskin dan sombong, dan menggerutu dan mengeluh, serta mempersalahkan nasib mereka. Namun, kita harus menyesuaikan diri dengan kemiskinan kita, kita harus tahu apa itu kekurangan (Flp. 4:12). Sambil mengakui kebijaksanaan Allah yang menentukan kita mengalami kemiskinan, kita harus tetap merasa nyaman, sabar menanggung kesukaran yang disebabkan kemiskinan itu, mensyukuri apa yang ada pada kita, dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Ini berarti merasa tidak terikat pada semua kekayaan duniawi, tidak mencondongkan hati kita kepadanya, tetapi dengan senang hati menanggung kerugian dan kekecewaan yang mungkin menimpa kita ketika sedang dalam kemakmuran. Ini bukan berarti membuat diri miskin karena terdorong kesombongan dan kemunafikan, dengan membuang semua yang diberikan Allah kepada kita, seperti halnya yang dilakukan sebagian umat Kristen tertentu yang berikrar untuk hidup miskin, namun masih terpikat dengan berbagai kekayaan. Jika kita kaya di dunia, kita harus miskin di hadapan Allah. Artinya, kita harus bersikap rendah hati terhadap orang miskin dan ikut merasakan perasaan mereka, misalnya tersentuh oleh kelemahan mereka. Kita harus bersiap menghadapi kemiskinan, tidak boleh takut atau menghindarinya secara berlebihan, melainkan harus menyambutnya, terutama ketika kemiskinan itu menimpa kita untuk menjaga agar hati nurani kita tetap terpelihara (Ibr. 10:34). Ayub seorang yang miskin di hadapan Allah, ketika ia memuji Allah karena mengambil, maupun memberi.
2. Bersikap rendah hati di mata kita sendiri. Menjadi miskin di hadapan Allah berarti berpikir sederhana mengenai diri sendiri, siapa kita, apa yang kita miliki dan lakukan. Dalam Perjanjian Lama, orang miskin sering kali menjadi gambaran orang rendah hati dan menyangkal diri, kebalikan dari orang-orang yang hidup nyaman dan sombong. Miskin di hadapan Allah berarti kita melihat diri sendiri seperti kanak-kanak, lemah, bodoh, dan tidak berarti (18:4; 19:14). Jemaat Laodikia miskin dalam hal-hal rohani, melarat dan malang, namun mereka merasa kaya dalam batin mereka, begitu berlimpah dengan harta sehingga merasa tidak kekurangan apa-apa (Why. 3:17). Di pihak lain, Paulus kaya dalam hal-hal rohani, unggul dalam hal karunia dan anugerah, namun merasa miskin di hadapan Allah, yang paling hina dari semua rasul, lebih rendah daripada yang paling hina di antara semua orang suci, dan sama sekali tidak berguna menurut pengakuannya sendiri. Miskin di hadapan Allah berarti memandang hina diri sendiri dengan cara yang kudus, menghargai orang lain, dan menganggap diri tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Ini berarti bersedia membuat diri tampak tidak berharga, biasa saja, dan kecil untuk melakukan kebaikan, untuk menjadi segala-galanya bagi semua orang. Ini berarti mengakui bahwa Allah besar dan kita kecil, bahwa Dia kudus dan kita berdosa, bahwa Dia segalanya dan kita sama sekali tidak ada apa-apanya, lebih rendah dan lebih buruk daripada segalanya, dan kita harus merendahkan diri di hadapan-Nya serta berada di bawah tangan-Nya yang penuh kuasa.
3. Miskin di hadapan Allah berarti menanggalkan seluruh rasa keyakinan diri terhadap kebenaran dan kekuatan kita sendiri, supaya dengan demikian kita dapat mengandalkan kebaikan Kristus saja untuk membenarkan kita, dan mengandalkan Roh serta anugerah-Nya untuk pengudusan kita. Hati pemungut cukai yang patah dan remuk penyesalan saat memohon belas kasihan karena merasa diri sebagai orang berdosa itulah yang disebut miskin di hadapan Allah. Kita harus menyebut diri kita miskin di hadapan Allah, karena selalu menginginkan anugerah Allah, senantiasa memohon kepada Allah, dan selalu bergantung pada-Nya.
Sekarang perhatikanlah:
(1) Kemiskinan di hadapan Allah ini ditempatkan pada urutan pertama di antara semua kebaikan Kristen. Para filsuf tidak memperhitungkan kerendahan hati sebagai salah satu kebajikan moral mereka, tetapi Kristus menempatkannya di urutan pertama. Penyangkalan diri adalah pelajaran pertama yang harus dipelajari di sekolah-Nya, dan miskin di hadapan Allah dijadikan ucapan bahagia pertama dalam khotbah-Nya. Dasar bagi semua anugerah lainnya adalah kerendahan hati. Orang-orang yang hendak membangun sampai tinggi harus mengawalinya dari bawah. Kerendahan hati merupakan persiapan yang sangat istimewa untuk masuknya anugerah Injil ke dalam jiwa, bagaikan tanah yang siap menerima benih. Orang-orang yang letih lesu dan berbeban berat, mereka inilah yang miskin di hadapan Allah, dan mereka akan menemukan kelegaan bersama Kristus.
(2) Mereka berbahagia atau diberkati. Di dunia ini mereka mengalami hal tersebut. Allah memandang mereka dengan penuh belas kasihan. Mereka adalah anak-anak kesayangan-Nya, dan memiliki malaikat masing-masing. Ia memberikan lebih banyak anugerah kepada mereka. Mereka menjalani kehidupan yang paling nyaman, merasa nyaman, baik dengan diri sendiri maupun dengan segala sesuatu di sekeliling mereka, dan tidak kekurangan apa pun. Sebaliknya, mereka yang berjiwa sombong akan selalu merasa tidak tenang.
(3) Merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Kerajaan anugerah terdiri dari orang-orang yang demikian. Hanya mereka sajalah yang cocok untuk menjadi anggota gereja Kristus, yang disebut kumpulan orang-orang yang tertindas (Mzm. 74:19). Kerajaan kemuliaan itu dipersiapkan bagi mereka. Orang-orang yang merendahkan diri seperti ini, yang mematuhi Allah saat Ia merendahkan mereka, akan ditinggikan. Jiwa congkak dan sombong akan musnah bersama kemuliaan segala kerajaan di bumi. Namun, jiwa yang rendah hati, lemah lembut, dan patuh akan memperoleh kemuliaan Kerajaan Sorga. Kita mudah berpikir bahwa orang-orang kaya yang menikmati kekayaan mereka pastilah yang empunya Kerajaan Sorga, sebab dengan kekayaan itu mereka dapat mengumpulkan harta untuk waktu yang akan datang. Tetapi apa yang dapat dilakukan orang miskin yang tidak mempunyai sarana untuk mengerjakan kebaikan? Oh ketahuilah, kebahagiaan yang sama ini juga dijanjikan kepada orang-orang miskin yang merasa puas dengan keadaan mereka, seperti halnya kepada orang-orang kaya yang berguna. Jika saya tidak sanggup memberi dengan hati gembira demi Dia karena kekurangan, tetapi dapat menanggung kekurangan dengan hati gembira demi Dia, ini pun akan mendapatkan balas jasa. Bukankah kita melayani Tuan yang baik?
II. Orang yang berdukacita adalah orang yang berbahagia (ay. 4). Berbahagialah orang yang berdukacita. Ini berkat lain yang aneh namun sesuai dengan berkat sebelumnya. Orang miskin sudah terbiasa berdukacita, dan orang yang miskin namun tetap bersyukur juga akan berdukacita dengan tetap bersyukur. Kita cenderung berpikir, berbahagialah orang yang bersukacita. Namun, Kristus, yang juga seorang yang sangat berdukacita, berkata, “Berbahagialah orang yang berdukacita.” Ada dukacita yang merupakan dosa, yang merupakan musuh bagi berkat – dukacita yang dari dunia, yakni kemurungan karena rasa putus asa atas hal rohani, dan dukacita teramat sangat atas hal yang bersifat sementara. Ada juga dukacita alami yang bisa mendatangkan berkat, melalui anugerah Allah yang bekerja di dalamnya, yang menguduskan kesusahan yang membuat kita berduka itu. Namun, ada sebuah dukacita yang benar-benar mulia, yang memenuhi syarat untuk mendapat berkat, yang menunjukkan suatu kesungguhan, yang menunjukkan pikiran yang mematikan kesenangan diri, yang merupakan dukacita yang sesungguhnya, yakni:
1. Dukacita karena menyesali dosa-dosa kita sendiri. Ini adalah dukacita menurut kehendak Allah, dukacita karena berdosa, dengan mata yang tertuju kepada Kristus (Za. 12:10). Para penduka seperti inilah yang menjadi milik Allah, yang menjalani hidup yang penuh pertobatan, yang meratapi natur mereka yang rusak dan semua pelanggaran mereka yang banyak, yang menyadari bahwa Allah telah menjauh dari mereka. Mereka juga, demi kehormatan Allah, berkabung atas dosa-dosa orang lain dan berkeluh kesah karena segala perbuatan-perbuatan keji (Yeh. 9:4).
2. Perkabungan yang penuh tenggang rasa atas kesusahan orang lain, yakni perkabungan orang-orang yang menangis dengan orang yang menangis, yang berdukacita atas malapetaka, atas kehancuran Sion (Zef. 3:18; Mzm. 137:1), dan terutama lagi perkabungan yang memandang jiwa-jiwa yang akan binasa dengan penuh belas kasihan, yang meratapi mereka, seperti Kristus menangisi Yerusalem.
Para penduka yang mulia ini
(1) Berbahagia. Sama seperti dalam tawa yang sia-sia dan penuh dosa, hati dapat merana, demikian pula dalam dukacita yang penuh anugerah, hati dipenuhi dengan sukacita dan kepuasan yang orang lain tidak dapat turut merasakannya. Mereka berbahagia, sebab mereka seperti Tuhan Yesus, seorang yang penuh dukacita, yang tidak pernah kita baca bahwa Ia tertawa, melainkan sering kali justru menangis. Mereka dipersenjatai untuk melawan berbagai godaan yang datang bersama kesenangan duniawi yang sia-sia. Mereka juga dipersiapkan untuk menerima penghiburan yang berupa pengampunan yang sudah dimeteraikan dan damai sejahtera yang sudah disediakan bagi mereka.
(2) Akan dihibur. Walaupun mungkin saja mereka tidak langsung dihibur, sejumlah besar penghiburan sudah disiapkan untuk mereka. Terang sudah tersedia bagi mereka, dan di sorga pastilah mereka akan dihibur, seperti Lazarus (Luk. 16:25). Perhatikanlah, kebahagiaan sorgawi itu merupakan keadaan di mana orang menjadi terhibur secara sempurna dan kekal, serta keadaan di mana segala air mata dihapus dari mata mereka. Ini adalah sukacita karena Tuhan, sukacita dan kesenangan penuh untuk selama-lamanya, yang akan terasa manis berlipat ganda bagi orang-orang yang telah dipersiapkan melalui dukacita menurut kehendak Allah itu. Sorga akan menjadi sorga yang sesungguhnya bagi mereka yang sekarang ini berdukacita. Sorga akan menjadi tempat tuaian sukacita, upah bagi mereka yang menabur dengan air mata (Mzm. 126:5-6). Sorga akan menjadi gunung sukacita, ke sanalah jalan kita, menuju dengan melewati lembah air mata (Yes. 66:10).
III. Orang yang lemah lembut adalah orang yang berbahagia (ay. 5). Berbahagialah orang yang lemah lembut. Orang yang lemah lembut adalah mereka yang dengan tenang tunduk kepada Allah, kepada perkataan-Nya, dan kepada tongkat-Nya. Mereka mengikuti petunjuk-Nya, menaati rancangan-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang (Tit. 3:2). Mereka mampu menanggung hasutan tanpa terbakar kemarahan olehnya, bersikap diam atau menanggapi dengan jawaban lembut. Mereka dapat menunjukkan rasa tidak senang bila memang ada alasan untuk itu, tanpa terseret ke dalam sikap yang tidak pantas. Mereka tetap berkepala dingin ketika yang lain terbakar emosi, dan dengan sabar menguasai jiwa mereka sendiri saat nyaris tidak mempunyai apa pun. Mereka inilah yang disebut lemah lembut, yang jarang dan hampir tidak pernah dapat dihasut, malah sebaliknya, mereka cepat dan mudah ditenangkan. Karena mampu mengendalikan diri, mereka lebih suka memaafkan dua puluh perlakuan buruk daripada membalas dendam atas salah satunya.
Di sini, orang-orang yang lemah lembut ini digambarkan sebagai orang yang berbahagia, sekalipun di dunia ini.
1. Mereka berbahagia, atau diberkati, sebab mereka serupa dengan Yesus yang diberkati, dan dalam hal itu mereka harus belajar dari-Nya (11:29). Mereka serupa dengan Allah yang terberkati itu sendiri, yang adalah Tuan atas amarah-Nya, dan yang tidak dikuasai murka. Mereka berbahagia, sebab mereka memiliki penghiburan yang paling nyaman dan tidak terganggu, yang berasal dari diri sendiri, dari sahabat-sahabat, dan dari Allah mereka. Orang-orang ini selalu merasa cocok dengan hubungan, keadaan, dan teman mana pun. Mereka cocok untuk hidup, dan cocok pula untuk mati.
2. Mereka akan memiliki bumi. Kata-kata ini dikutip dari Mazmur 37:11, dan hampir merupakan satu-satunya janji duniawi yang sementara sifatnya yang terdapat di dalam seluruh Perjanjian Baru. Bukan berarti bahwa mereka akan selalu memiliki sebagian besar dari bumi ini. Besar kemungkinan mereka justru tidak akan memilikinya. Sebaliknya, bentuk kesalehan ini, dalam cara yang khusus, memiliki janji tentang hidup yang sekarang ini. Sikap lemah lembut, sekalipun dihina dan direndahkan seperti apa pun, cenderung dapat meningkatkan kesehatan, kekayaan, kenyamanan, dan keamanan kita, bahkan di dunia ini. Orang yang lemah lembut dan tenang tampak menjalani kehidupan yang paling mudah, dibandingkan orang yang lancang dan penuh pergolakan. Atau, mereka akan memiliki negeri (begitulah yang dapat ditafsirkan), tanah Kanaan, yang merupakan bayang-bayang dari sorga. Dengan demikian segala berkat dari sorga di atas, dan segala berkat di bumi yang di bawah, merupakan bagian orang yang lemah lembut.
IV. Mereka yang lapar dan haus akan kebenaran adalah orang yang berbahagia (ay. 6). Beberapa orang menangkap perkataan ini sebagai contoh selanjutnya mengenai kemiskinan lahiriah kita dan keadaan buruk dunia ini, yang bukan saja memperhadapkan manusia kepada kerugian dan kesalahan, namun membuat mereka mencari keadilan dengan sia-sia. Mereka lapar dan haus akan keadilan, tetapi kekuatan para penindas mereka begitu besar sehingga mereka tidak dapat memperoleh keadilan itu. Mereka hanya mendambakan keadilan dan persamaan hak, namun dicegah oleh orang-orang yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati manusia. Ini benar-benar hal yang menyedihkan! Namun demikian, berbahagialah mereka, jika mereka menderita berbagai kesusahan ini untuk dan dengan hati nurani yang baik. Biarlah mereka berharap kepada Allah yang akan menegakkan keadilan dan mendatangkan kebenaran, serta membebaskan si malang dari para penindas mereka (Mzm. 103:6). Orang-orang yang menanggung penindasan dengan hati puas dan dengan tenang, datang kepada Allah untuk menyampaikan persoalan mereka, pada waktunya nanti akan dipuaskan dengan luar biasa dalam hikmat serta kebaikan yang akan diperlihatkan melalui penampakan-Nya kepada mereka. Namun, sudah tentu kebenaran di sini harus dipahami secara rohani, yaitu suatu keinginan yang luhur akan pekerjaan anugerah Allah bagi jiwa, yang membuat orang menjadi layak menerima berkat-berkat dari karunia ilahi.
1. Kebenaran yang dimaksudkan di sini adalah semua berkat rohani (Mzm. 24:5; Mat. 6:33). Semuanya ini dibeli untuk kita melalui kebenaran Kristus, yang disampaikan dan ditegaskan dengan memperhitungkan kebenaran itu sebagai milik kita, serta diperkuat oleh kesetiaan Allah. Melalui pengorbanan Kristus, Allah membenarkan kita dan di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah, agar manusia diperbarui seutuhnya dalam kebenaran, sehingga menjadi manusia baru yang menyandang gambar Allah dan memiliki bagian di dalam Kristus dan janji-janji-Nya – inilah kebenaran itu.
2. Kita harus lapar dan haus akan hal-hal ini. Kita harus benar-benar merindukan hal-hal ini seperti orang yang lapar dan haus merindukan makanan dan minuman, yang tidak dapat dipuaskan kecuali dengan makanan dan minuman, dan baru merasa puas dengan hal-hal ini meskipun masih kekurangan akan hal-hal lainnya. Kerinduan kita akan berkat-berkat rohani harus sungguh-sungguh dan sangat mendesak. “Berikanlah ini kepadaku; kalau tidak, aku akan mati; semua hal lain adalah sampah dan sekam, tidak memuaskan. Berikanlah berkat-berkat rohani ini kepadaku, maka puaslah aku, meskipun yang lainnya tidak aku miliki.” Lapar dan haus merupakan selera yang sering berulang kembali dan membutuhkan pemuasan yang segar. Juga, keinginan-keinginan kudus tidak selamanya puas dengan apa yang sudah didapatkan, melainkan mencari meminta pengampunan baru, dan curahan anugerah yang segar setiap hari. Jiwa yang disegarkan senantiasa membutuhkan makanan kebenaran dan anugerah untuk melaksanakan pekerjaan hari lepas hari, sama seperti tubuh jasmani membutuhkan makanan. Bila orang yang lapar dan haus harus bekerja keras untuk mendapatkan persediaan, demikian pula kita tidak boleh hanya menginginkan berkat-berkat rohani saja, melainkan juga harus bersusah payah untuk mendapatkannya dengan menggunakan berbagai sarana yang telah ditetapkan. Dalam Katekismus praktisnya, Dr. Hammond membedakan antara lapar dan haus. Lapar adalah keinginan akan makanan supaya tetap bertahan, seperti misalnya kebenaran yang menguduskan. Haus adalah keinginan akan minuman untuk menyegarkan, seperti misalnya kebenaran yang membenarkan dan perasaan diampuni.
Orang-orang yang lapar dan haus akan berkat-berkat rohani, berbahagia dengan keinginan-keinginannya itu dan akan dipuaskan dengan berkat-berkat itu.
(1) Mereka berbahagia dalam keinginan-keinginan itu. Walaupun tidak semua keinginan akan anugerah merupakan anugerah (keinginan yang dibuat-buat dan samar bukanlah anugerah), keinginan akan berkat-berkat rohani seperti ini merupakan anugerah, karena keinginan tersebut mengandung suatu bukti akan sesuatu yang baik dan mengandung suatu kesungguhan akan sesuatu yang lebih baik. Ini adalah keinginan yang dibangkitkan oleh Allah sendiri, dan Ia tidak akan meninggalkan karya tangan-Nya sendiri. Bagaimanapun, jiwa akan selalu merasa lapar dan haus akan sesuatu. Oleh sebab itu orang-orang yang mengaitkan lapar dan haus diri pada perkara yang benar, yang memuaskan dan tidak memperdayakan, dan yang tidak menginginkan abu (Am. 2:7; Yes. 55:2), mereka akan diberkati.
(2) Mereka akan dipenuhi dengan berkat-berkat itu. Allah akan memberikan apa yang mereka rindukan guna melengkapkan kepuasan mereka. Hanya Allah sendirilah yang mampu mengisi jiwa. Anugerah dan perkenan-Nya cukup bagi keinginan yang benar, dan Ia akan memenuhi orang-orang itu dengan kasih karunia demi kasih karunia (anugerah demi anugerah), karena mereka telah mengosongkan diri dan mengalami kepenuhan-Nya. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar (Luk. 1:53), membuat segar mereka (Yer. 31:25). Kebahagiaan sorga pasti akan memenuhi jiwa. Kebenaran mereka akan menjadi lengkap, begitu pula mereka akan mengalami perkenan dan gambaran Allah dalam segala kesempurnaannya.
Orang yang murah hatinya adalah orang berbahagia (ay. 7). Ayat ini, sama seperti yang lainnya, bersifat paradoks, sebab orang yang murah hati biasanya tidak akan dianggap sebagai orang yang sangat bijak, dan juga tidak akan mungkin bisa menjadi yang terkaya, namun Kristus menyebut mereka berbahagia. Mereka adalah orang-orang yang murah hati, yang saleh dan dermawan dalam menaruh belas kasihan, menolong, dan membantu orang-orang yang ditimpa kemalangan. Untuk menjadi orang yang benar-benar murah hati, seseorang tidak perlu memiliki kekayaan yang berlimpah, karena yang diterima Allah adalah hati yang bersedia memberi. Tidaklah cukup bagi kita untuk hanya menanggung penderitaan sendiri dengan sabar, tetapi lebih dari itu, kita juga, sebagai orang Kristen yang penuh simpati, harus turut mengambil bagian dalam penderitaan saudara-saudara kita. Rasa belas kasihan harus diperlihatkan (Ayb. 6:14), dan belas kasihan harus dikenakan (Kol. 3:12), dan setelah dikenakan, harus tampak dalam memberi semampu kita guna membantu orang-orang yang ditimpa kemalangan. Kita harus menaruh belas kasihan pada jiwa-jiwa lain dan menolong mereka. Kita harus iba terhadap orang bebal dan menasihati mereka; iba terhadap orang yang lalai dan memperingatkan mereka; iba terhadap orang-orang berdosa, dan menarik mereka seperti puntung yang ditarik dari api. Kita harus menaruh belas kasihan terhadap orang-orang yang murung dan berduka, serta menghibur hati mereka (Ayb. 16:5). Terhadap orang-orang yang memanfaatkan kita, janganlah bersikap kasar dan keras terhadap mereka. Terhadap orang-orang yang berkekurangan, kita penuhi kebutuhan mereka. Jika kita menolak melakukan semuanya ini, maka apa pun yang kita perbuat, sama saja dengan menutup pintu hati kita (Yak. 2:15-16; 1Yoh. 3:17). Serahkan dan pecah-pecahkan rotimu bagi orang yang lapar (Yes. 58:7, 10). Tetapi bukan hanya itu saja, orang benar memperhatikan hidup hewannya.
Sekarang mengenai orang yang murah hatinya.
1. Mereka berbahagia, begitulah dikatakan dalam Perjanjian Lama. Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah (Mzm. 41:2). Dalam hal ini mereka menyerupai Allah, yang kebaikan-Nya adalah kemuliaan-Nya. Dengan menjadi orang yang murah hati seperti Dia yang penuh kemurahan hati, maka kita juga menjadi sempurna, sesuai dengan ukuran kita, sama seperti Dia yang sempurna adanya. Tindakan murah hati ini adalah bukti kasih akan Allah. Kita akan memuaskan hati kita sendiri bila kita menjadi alat demi kebaikan orang lain dalam hal apa saja. Salah satu kesukaan hati yang paling murni dan sempurna di dunia ini adalah berbuat baik. Di dalam kata-kata Berbahagialah orang yang murah hatinya, tercakup ucapan Kristus, yang tidak kita temukan dalam keempat Injil, bahwa adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima (Kis. 20:35).
2. Mereka akan beroleh kemurahan. Kemurahan dari sesama saat mereka membutuhkannya. Siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum (kita tidak tahu kapan kita akan membutuhkan kebaikan hati orang, dan karena itu kita patut berbuat baik). Terutama, kita harus bermurah hati terhadap Allah, sebab terhadap orang yang setia Dia berlaku setia (Mzm. 18:26). Orang yang murah hatinya dan dermawan tidak akan bersikap pura-pura dalam berbuat baik, sebaliknya, ia akan bergegas dalam menunjukkan belas kasihannya. Orang yang murah hati akan mendapat balasan belas kasihan dari Allah (6:14), belas kasihan yang memenuhi kebutuhannya pada saat diperlukan (Ams. 19:17), belas kasihan yang memelihara (Mzm. 41:3), dan belas kasihan pada hari-Nya nanti (2Tim. 1:18). Sedangkan mereka yang tidak berbelas kasihan akan memperoleh penghakiman yang tidak mengenal rasa belas kasihan (yang hanya dapat berarti api neraka).
Orang yang suci hatinya adalah orang yang berbahagia (ay. 8). Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Ini adalah ucapan bahagia yang paling menyeluruh, yang meliputi semua hal. Di sini kekudusan dan kebahagiaan dijelaskan dan dipersatukan dengan sangat sempurna.
1. Ucapan bahagia ini menggambarkan watak yang paling menyeluruh dari orang yang berbahagia, yaitu mereka suci hatinya. Perhatikanlah, ibadah yang sejati terletak pada kesucian hati. Orang-orang yang suci batinnya memperlihatkan bahwa mereka berada di bawah kuasa ibadah yang murni dan yang tidak bercacat. Kekristenan sejati terletak pada hati, pada kesucian hati, dan pada pembersihan hati dari kejahatan (Yer. 4:14). Kepada Allah kita harus mengangkat bukan saja tangan yang bersih, namun juga hati yang murni (Mzm. 24:4-5; 1Tim. 1:5). Hati kita harus murni, tidak boleh bercampur dengan yang lain – hati yang tulus yang tertuju kepada yang baik. Murni, kebalikan dari pencemaran dan penajisan, seperti anggur asli yang tidak dicampur, atau air jernih yang tidak bercampur lumpur. Hati harus dijaga agar tetap murni dari keinginan-keinginan nafsu daging, segala pikiran dan keinginan kotor, dan dari keinginan-keinginan nafsu duniawi, dari ketamakan dan keserakahan, dari segala kekotoran daging dan roh yang keluar dari hati dan yang menajiskan. Hati haruslah dimurnikan oleh iman dan sepenuhnya untuk Allah. Hati harus dipersembahkan dan dijaga seperti perawan yang suci bagi Kristus. Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah!
2. Dalam ucapan bahagia ini terkandung penghiburan paling menyeluruh bagi orang yang berbahagia. Mereka akan melihat Allah. Perhatikanlah:
(1) Sungguh merupakan kebahagiaan sempurna bagi jiwa untuk melihat Allah. Dengan melihat-Nya, yang boleh kita lakukan sekarang melalui iman, kita seperti mengalami sorga di bumi, dan kita juga akan melihat-Nya kelak di dalam sorga segala sorga. Kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya, muka dengan muka, dan bukan melalui cermin yang kabur lagi. Kita akan melihat Dia sebagai milik kita, dan melihat Dia serta menikmati-Nya. Kita akan melihat Dia dan menjadi serupa dengan-Nya, serta menjadi puas dengan keserupaan itu (Mzm. 17:15). Kita akan memandang-Nya untuk selamanya dan tidak akan pernah kehilangan pandangan kita akan Dia lagi. Inilah kebahagiaan sorgawi.
(2) Kebahagiaan untuk melihat Allah hanya dijanjikan kepada orang-orang, ya, hanya kepada mereka, yang suci hatinya. Tidak seorang pun kecuali yang suci yang mampu melihat Allah, dan kebahagiaan ini bukanlah untuk mereka yang tidak suci. Kesenangan apa yang bisa diperoleh jiwa yang belum disucikan bila memandang Allah yang suci? Sama seperti Dia tidak tahan melihat kejahatan mereka, begitu pula mereka tidak akan tahan melihat kesucian-Nya. Tidak ada hal najis yang akan masuk ke dalam Yerusalem baru. Namun semua orang yang suci hatinya, yang benar-benar disucikan, memiliki keinginan dalam diri mereka yang hanya dapat dipuaskan dengan melihat Allah, dan anugerah ilahi tidak akan membiarkan keinginan-keinginan itu tidak dipuaskan.
VII. Orang yang membawa damai adalah orang yang berbahagia (ay. 9). Hikmat yang datang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai. Orang-orang yang berbahagia atau diberkati adalah orang-orang yang murni di hadapan Allah, dan berdamai dengan sesama manusia, sebab berkenaan dengan kedua hal tersebut, hati nurani haruslah tetap murni (Kis. 24:16). Orang-orang yang membawa damai adalah mereka yang memiliki:
1. Watak cinta damai. Sama seperti orang yang mencintai dusta memang terikat pada kebiasaan berdusta, demikian pula mencari damai berarti memiliki kecintaan yang kuat terhadap perdamaian. Aku ini suka perdamaian (Mzm. 120:7). Cinta damai berarti mencintai, menginginkan, dan bersukacita dengan perdamaian, menjadikannya salah satu unsur dalam diri kita, dan belajar bersikap tenang.
2. Tutur kata yang penuh damai. Dengan setekun mungkin mempertahankan kedamaian agar tidak rusak dan memperbaikinya seandainya terganggu, mendengarkan penawaran perdamaian, serta siap memberikannya kepada orang lain. Jika terjadi perpecahan di antara saudara seiman maupun sesama, berbuat sebisa-bisanya untuk mengatasinya dan menjadi orang yang memperbaiki keretakan. Membawa damai adakalanya merupakan pelayanan yang tidak dihargai dengan rasa terima kasih. Tugasnya adalah melerai pertengkaran sehingga bisa diserang oleh kedua belah pihak. Namun, pelayanan ini sangatlah baik, dan kita harus berharap dapat melakukannya. Sebagian orang berpendapat bahwa ucapan bahagia ini secara khusus dimaksudkan sebagai pelajaran bagi para pelayan Tuhan yang harus berupaya sedapat mungkin untuk memperdamaikan orang-orang yang berselisih pendapat, dan untuk menunjukkan kasih Kristen di antara orang-orang yang ada di bawah tanggung jawab mereka. Sekarang:
(1) Orang-orang seperti itulah yang berbahagia, sebab mereka bisa menikmati kepuasan dengan memelihara perdamaian dan benar-benar bisa melayani orang lain dengan memberikan perdamaian kepada mereka. Orang-orang ini bekerja sama dengan Kristus yang datang ke dunia untuk melenyapkan perseteruan, dan untuk memberitakan damai di atas bumi.
(2) Mereka akan disebut anak-anak Allah. Tindakan cinta damai itu akan menjadi bukti bagi mereka sendiri bahwa mereka memang anak-anak Allah. Allah akan mengakui mereka sebagai anak-anak-Nya, dan dengan demikian mereka akan menjadi serupa dengan-Nya. Dia adalah Allah sumber perdamaian. Anak Allah adalah Raja Damai. Roh yang mengangkat manusia sebagai anak adalah Roh damai sejahtera. Karena Allah telah menyatakan bahwa diri-Nya dapat diperdamaikan dengan kita semua, Ia tidak akan mengakui hal tersebut kepada orang-orang yang bersikeras untuk saling memusuhi. Sebab, bila para pendamai mendapat berkat-Nya, celakalah mereka yang merusak perdamaian! Dari hal ini tampaklah bahwa Kristus tidak pernah bermaksud agar ajaran-Nya disebarkan dengan menggunakan api dan pedang, atau hukuman keras, atau dengan pengakuan yang fanatik, atau dengan semangat berlebihan sebagai ciri khas murid-murid-Nya. Orang-orang duniawi sangat senang memancing di air keruh, tetapi anak-anak Allah adalah pembawa damai, orang-orang yang rukun di negeri.
VIII. Orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran adalah orang yang berbahagia. Ini adalah paradoks terbesar dari semua paradoks yang ada, dan keunikan yang hanya ada dalam Kekristenan. Oleh sebab itu, ucapan bahagia ini ditempatkan paling akhir, dan lebih banyak ditekankan daripada yang lainnya (ay. 10-12). Ucapan bahagia ini, seperti mimpi Firaun, dilipatgandakan karena nyaris tidak dihargai, padahal hal tersebut sangat pasti. Di bagian terakhir terdapat perubahan pada orang yang dituju, “Berbahagialah kamu – kamu murid-murid dan pengikut-Ku. Kamulah, yang lebih unggul dalam hal kebajikan, yang langsung berkepentingan dalam hal ini. Kamulah yang harus menanggung kesukaran dan persoalan lebih dari yang lainnya.” Perhatikanlah, di sini:
1. Bagaimana keadaan orang-orang kudus yang menderita. Keadaannya amat parah dan menyedihkan.
(1) Mereka dianiaya, diburu, dikejar, dibunuh bagaikan binatang berbahaya, dicari-cari untuk dibinasakan. Seolah-olah orang Kristen itu caput gerere lupinum – memakai kepala serigala, yakni sebutan bagi seorang buronan, sehingga siapa saja yang menemukannya boleh membantainya. Mereka dicampakkan bagaikan sampah, didenda, dipenjarakan, dibuang, dirampas kekayaannya, disingkirkan dari semua tempat keberuntungan dan kepercayaan, dicambuk, disakiti, disiksa, diserahkan kepada maut, dan diperlakukan sebagai domba yang siap disembelih. Ini adalah akibat dari perseteruan keturunan ular itu dengan keturunan yang kudus, mulai dari Habel, orang benar itu. Hal ini juga disebutkan dalam Perjanjian Lama, seperti yang bisa kita baca dalam Ibrani 11:35, dst. Kristus telah memberi tahu kita bahwa hal ini terlebih akan menimpa jemaat Kristen, dan janganlah kita menganggapnya aneh (1Yoh. 3:13). Ia telah meninggalkan teladan bagi kita.
(2) Mereka dicela dan dianiaya, serta difitnahkan segala yang jahat. Julukan dan sebutan nista dilontarkan kepada mereka, kepada orang-orang tertentu, dan kepada keturunan orang benar secara umum untuk membuat mereka tampak menjijikkan. Terkadang mereka disudutkan sedemikian rupa agar dapat diserang habis-habisan. Mereka dituntut dengan tuduhan yang bahkan tidak mereka ketahui (Mzm. 35:11; Yer. 20:18; Kis. 17:6-7). Orang-orang yang tadinya tidak berkuasa mencelakakan mereka dengan tindakan jahat lain, sekarang mampu melakukan hal ini; dan yang tadinya berkuasa menganiaya, merasa wajib melakukannya juga supaya dengan begitu mereka membenarkan tindakan keji mereka. Supaya bisa menyerang, mereka memfitnah pada korban. Supaya dapat memperlakukan korban mereka dengan keji, terlebih dulu mereka menampilkan sang korban sebagai orang yang paling jahat. Mereka akan mencela dan menganiaya kamu. Perhatikanlah, mencela orang-orang yang dikasihi Allah sama saja dengan menganiaya mereka, dan hal ini akan segera diketahui, ketika kata-kata nista harus dipertanggungjawabkan (Yud. 15), demikian halnya dengan ejekan-ejekan yang kejam (Ibr. 11:36). Mereka akan melontarkan segala fitnah jahat kepadamu, kadang-kadang sebagai saksi yang menentang kamu dalam suatu pengadilan, adakalanya di tengah-tengah kumpulan para pencemooh, bersama orang munafik dan segala pengolok (TL). Mereka bagaikan nyanyian para peminum. Mereka melakukan semuanya ini terkadang dengan berhadapan muka, seperti Simei mengutuki Daud, adakalanya di balik punggung, seperti yang dilakukan musuh-musuh Yeremia. Perhatikanlah, tidak ada kejahatan yang begitu keji dan mengerikan yang tidak difitnahkan kepada para murid dan pengikut Kristus.
(3) Semuanya ini oleh sebab kebenaran (ay. 10), dan karena Aku (ay. 11). Bila itu terjadi oleh sebab kebenaran, maka itu juga karena Kristus, sebab Ia peduli pada karya kebenaran. Musuh kebenaran adalah musuh Kristus juga. Hal ini menghalangi berkat datang kepada orang-orang yang memang pantas menderita dan yang melakukan segala yang jahat. Biarlah orang-orang seperti itu dipermalukan dan dikutuk, karena ini adalah bagian dari hukuman bagi mereka. Bukan penderitaan, melainkan penyebabnyalah, yang membuat seseorang menjadi martir. Orang-orang itu menderita oleh sebab kebenaran, mereka menderita karena mereka tidak mau berbuat dosa melawan hati nurani mereka, mereka menderita karena berbuat baik. Apa pun dalih yang diajukan para penganiaya, kekuatan dalam kesalehanlah yang mereka benci. Sebenarnya Kristus dan kebenaran-Nya-lah yang dimusuhi, dibenci, dan dianiaya. Oleh karena Engkau, kata-kata yang mencela Engkau telah menimpa aku (Mzm. 69:10; Rm. 8:36).
2. Penghiburan yang disediakan bagi orang-orang kudus yang menderita.
(1) Mereka berbahagia, sebab sekarang, selagi masih hidup, mereka menerima segala yang buruk (Luk. 16:25), dan menerimanya karena sesuatu yang baik. Mereka berbahagia, karena ini merupakan kehormatan bagi mereka (Kis. 5:41). Mengalami berkat merupakan kesempatan untuk memuliakan Kristus, untuk melakukan kebaikan, mengalami penghiburan istimewa, dan lawatan anugerah serta tanda kehadiran-Nya (2Kor. 1:5; Dan. 3:25; Rm. 8:29).
(2) Mereka akan mendapat upah. Kerajaan Sorga akan menjadi milik mereka. Pada masa sekarang ini pun mereka sudah mendapat kepastian mengenai hal ini dan merasakan cicipan manisnya lebih dulu, dan tidak lama lagi mereka akan memperolehnya dengan seutuhnya. Walaupun tidak ada sesuatu pun dalam semua penderitaan itu yang secara langsung dapat membawa keuntungan bagi Allah (sebab dosa yang dilakukan oleh orang yang terbaik sekalipun layak mendapatkan yang terburuk), namun di sini dijanjikan upah yang besar (ay. 12). Upahmu besar di sorga. Begitu besar, sehingga jauh melebihi pelayanan yang mereka berikan. Upah itu berada di sorga, di masa mendatang, dan tidak tampak, namun aman dan di luar jangkauan bahaya, kecurangan, dan kekerasan. Perhatikanlah, Allah menjamin bahwa orang-orang yang menderita kerugian demi Dia, walau itu nyawa sekalipun, pada akhirnya nanti tidak akan menderita kerugian oleh Dia. Akhirnya, sorga akan menjadi upah yang melimpah bagi semua kesukaran yang kita jumpai dalam hidup. Inilah yang membuat para orang kudus dari segala zaman dapat bertahan dalam penderitaan – karena sukacita yang ditetapkan bagi mereka ini.
(3) Demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu (ay. 12). Mereka ada sebelum kamu dalam hal keunggulan, melebihi apa yang telah kamu capai. Mereka ada sebelum kamu dalam hal waktu, agar bisa menjadi teladan bagimu dalam hal penderitaan dan kesabaran (Yak. 5:10). Mereka juga telah dianiaya dan disiksa, jadi, masakan kamu mau berharap masuk sorga dengan caramu sendiri? Bukankah Yesaya dihina karena Ia selalu mengatakan mesti begini mesti begitu? Juga Elisa karena kepala botaknya? Bukankah semua nabi diperlakukan seperti itu? Oleh sebab itu janganlah engkau heran seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa, jangan kamu bersungut-sungut seolah-olah itu sesuatu yang sukar. Sungguh suatu penghiburan untuk memandang jalan penderitaan sebagai jalan yang sudah ditaklukkan, dan menerima sebagai suatu kehormatan untuk mengikuti para pemimpin seperti itu. Anugerah yang sama yang telah cukup bagi mereka untuk dapat bertahan dalam penderitaan, juga akan sama cukupnya bagi kamu dalam menghadapi penderitaan. Orang-orang yang memusuhimu adalah keturunan dan pengganti mereka yang dahulu menghina para pembawa berita dari Tuhan (2Taw. 36:16; Mat. 23:31; Kis. 7:52).
13 “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. 14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”
Belum lama ini Kristus memanggil murid-murid-Nya dan memberitahukan bahwa mereka akan menjadi penjala manusia. Di sini Ia lebih lanjut menyampaikan apa yang menjadi rancangan-Nya bagi mereka – garam dunia, dan terang dunia, agar mereka benar-benar menjadi seperti yang diharapkan-Nya itu.
I. Kamu adalah garam dunia. Kata-kata ini akan mendorong dan menyokong mereka saat mengalami penderitaan, agar, sekalipun diperlakukan hina, mereka harus tetap menjadi berkat bagi dunia, lebih-lebih ketika sedang di tengah-tengah penderitaan. Para nabi yang ada sebelum mereka adalah garam bagi tanah Kanaan, tetapi para rasul adalah garam bagi seluruh bumi, sebab mereka harus pergi ke seluruh dunia untuk memberitakan Injil. Tampaknya mereka berkecil hati karena jumlah mereka begitu sedikit dan lemah. Apa yang mampu mereka lakukan di kawasan yang begitu luas seperti seluruh muka bumi ini? Tidak ada, jika mereka harus bekerja dengan menggunakan kekuatan senjata dan pedang semata. Namun, dengan bekerja tanpa suara seperti garam, maka segenggam garam itu akan menyebarkan rasanya ke mana-mana, menjangkau daerah yang luas, dan bekerja tanpa terasa dan tanpa penolakan seperti bekerjanya ragi (13:33). Pengajaran Injil itu seperti garam, yang menembus, cepat dan sangat kuat (Ibr. 4:12). Ia menjangkau hati (Kis. 2:37). Ia membersihkan, mengharumkan, dan mengawetkan supaya tidak busuk. Kita membaca mengenai keharuman pengenalan akan Kristus (2Kor. 2:14), sebab selain pengenalan akan Kristus, pengetahuan lainnya hanyalah hambar saja rasanya. Perjanjian yang kekal disebut perjanjian garam (Bil. 18:19), dan Injil itu sendiri adalah Injil yang kekal. Garam merupakan syarat dalam semua korban persembahan (Im. 2:13), juga dalam Bait Suci Yehezkiel (Yeh. 43:24). Sekarang, setelah belajar sendiri tentang pengajaran Injil dan diutus untuk mengajarkannya kepada orang lain, murid-murid Kristus menjadi seperti garam. Perhatikanlah, orang-orang Kristen, terutama para pelayan Tuhan, adalah garam dunia.
1. Jika mereka berlaku seperti seharusnya, mereka seperti garam yang baik, putih bersih, halus, dan dihancurkan menjadi butir-butir, namun sangat berguna dan diperlukan. Pliny berkata, Sine sale, vita humana non potest degere – Tanpa garam, hidup manusia tidak dapat dipertahankan. Lihatlah dalam hal ini:
(1) Seperti apa mereka seharusnya dalam diri mereka – diasinkan dengan Injil, dengan garam anugerah. Segala pikiran dan perasaan, perkataan serta perbuatan, semuanya harus diasinkan dengan anugerah (Kol. 4:6). Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu, sebab jikalau tidak, kamu tidak akan dapat menyebarkannya ke orang lain (Mrk. 9:50).
(2) Seperti apa mereka seharusnya bagi orang lain. Mereka bukan saja harus menjadi baik, tetapi juga berbuat baik. Mereka harus bisa membuat diri mereka diterima dalam pikiran orang-orang, bukan untuk melayani minat duniawi diri sendiri, tetapi agar orang-orang lain itu bisa diubahkan sesuai dengan rasa dan selera Injil.
(3) Betapa mereka menjadi berkat yang luar biasa bagi dunia. Umat manusia, yang tinggal dalam kebodohan dan kejahatan, bagaikan sebuah tumpukan besar sampah yang menjijikkan dan siap membusuk. Namun, Kristus mengutus murid-murid-Nya, agar melalui kehidupan dan pengajaran mereka, mereka menggarami tumpukan itu dengan pengetahuan dan anugerah, supaya bisa diubahkan menjadi layak di hadapan Allah, para malaikat, dan semua yang menyukai hal-hal sorgawi.
(4) Bagaimana mereka akan digunakan. Mereka tidak boleh ada dalam suatu tumpukan, tidak boleh terus-menerus bersama-sama di Yerusalem, melainkan harus menyebar seperti garam yang ditabur di atas daging, sebutir di sini dan sebutir di sana. Mereka harus menjadi seperti orang-orang Lewi yang tersebar di seluruh Israel, supaya di mana pun mereka tinggal, mereka dapat meneruskan keharuman Injil itu. Menurut pendapat sebagian orang, anggapan bahwa garam yang jatuh ke atas kita merupakan suatu pertanda buruk adalah suatu anggapan yang bodoh. Justru sebaliknya, yang menjadi pertanda buruk adalah kalau garam itu jatuh dari kita.
2. Jika tidak, mereka menjadi seperti garam yang telah menjadi tawar. Bila Anda, yang seharusnya mengasinkan orang lain, telah menjadi hambar, kosong dalam kehidupan rohani, tidak ada sukacita dan semangat; bila seorang Kristen, lebih-lebih seorang hamba Tuhan menjadi seperti ini, maka keadaannya ini teramat menyedihkan, sebab:
(1) Ia tidak dapat diperbaiki lagi: Dengan apakah ia diasinkan? Garam adalah obat bagi makanan yang tawar, tetapi tidak ada obat bagi garam yang tawar. Kekristenan akan memberikan keharuman bagi manusia, tetapi bila kehidupan Kekristenan seseorang tetap datar dan bodoh, tidak penuh dengan anugerah serta tawar, maka tidak ada pengajaran atau sarana apa pun lagi yang dapat diterapkan untuk membuatnya harum kembali. Jika Kekristenan tidak dapat melakukannya, tidak ada yang dapat.
(2) Ia tidak berfaedah lagi, tidak ada lagi gunanya. Apa lagi yang dapat diperbuat dengannya selain menimbulkan lebih banyak kesusahan daripada kebaikan? Orang Kristen yang tanpa anugerah adalah seperti orang yang tidak berakal. Orang yang jahat adalah makhluk yang paling buruk. Orang Kristen yang jahat adalah manusia paling buruk, sedangkan hamba Tuhan yang jahat adalah orang Kristen yang paling buruk.
(3) Ia pasti akan binasa dan ditolak. Ia akan dibuang – diusir dari jemaat dan persekutuan orang beriman, karena menjadi noda dan beban bagi mereka. Ia akan diinjak orang. Biarlah orang-orang yang telah menghina Allah dan yang telah membuat diri mereka tidak berguna lagi selain untuk diinjak-injak ini mendapat malu dan ditolak, supaya dengan demikian biarlah Allah tetap dimuliakan.
II. Kamu adalah terang dunia (ay. 14). Hal ini juga memperlihatkan bahwa murid-murid itu berguna, seperti pada perintah sebelumnya (Sole et sale nihil utilius – Tidak ada yang lebih berguna daripada matahari dan garam), hanya saja yang ini lebih mulia. Semua orang Kristen adalah terang di dalam Tuhan (Ef. 5:8), dan harus bercahaya seperti bintang-bintang (Flp. 2:15), namun melayani dengan cara yang istimewa. Kristus menyebut diri-Nya terang dunia (Yoh. 8:12), sedangkan murid-murid-Nya adalah teman-teman sekerja dan menerima sebagian kehormatan-Nya. Sesungguhnya terang itu manis dan disambut kehadirannya. Terang pada hari pertama penciptaan dunia seperti itu, ketika dari dalam gelap terbit terang. Begitu pula halnya dengan terang fajar setiap hari. Demikian halnya juga dengan Injil, dan orang-orang yang menyebarkannya kepada semua orang yang mau mendengar. Dunia diam dalam kegelapan, dan Kristus membangunkan murid-murid-Nya untuk bersinar di dalamnya, dan supaya dapat melakukannya, mereka meminjam dan mendapatkan terang itu dari-Nya.
Persamaan ini dijelaskan melalui dua hal:
1. Sebagai terang dunia, mereka tampak jelas dan mencolok mata, dan banyak mata tertuju kepada mereka. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Murid-murid Kristus, terutama mereka yang berani dan bersemangat dalam pelayanan, akan menjadi luar biasa dan dipandang sebagai mercusuar. Mereka menjadi tanda (Yes. 7:18), merupakan suatu lambang (Za. 3:8). Semua orang yang berada di dekat mereka akan memandang mereka. Sebagian mengagumi, memuji, bersukacita bersama mereka, dan berusaha meneladani mereka; yang lain lagi iri hati, membenci, mencela, dan berusaha menjatuhkan mereka. Oleh sebab itu, mereka harus memperhatikan dengan saksama bagaimana mereka hidup, karena banyaklah orang yang sedang mengamati mereka. Mereka menjadi tontonan bagi dunia, dan harus waspada dengan setiap hal yang tampak jahat, karena orang sangat mengamati mereka untuk hal-hal ini. Sebelum dipanggil Kristus, murid-murid-Nya adalah orang-orang yang tidak dikenal, tetapi karakter yang ditaruh-Nya ke atas mereka telah menaikkan martabat mereka. Sebagai pemberita Injil, mereka menjadi tokoh, dan meskipun oleh karenanya mereka dicela sebagian orang, namun mereka juga dihormati oleh yang lainnya, didudukkan di atas takhta, dan dijadikan hakim (Luk. 22:30). Sebab, Kristus menghormati orang-orang yang menghormati-Nya.
2. Sebagai terang dunia, mereka dimaksudkan untuk menerangi dan membawa terang kepada orang lain (ay. 15). Oleh sebab itu:
(1) Mereka akan dijadikan terang. Kristus telah menyalakan pelita-pelita ini, yang tidak akan ditaruh di bawah gantang, tidak selalu dibatasi di kota-kota Galilea seperti sekarang, atau hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel, tetapi mereka akan diutus ke seluruh muka bumi. Jemaat merupakan kaki dian, kaki dian emas, tempat pelita-pelita ini diletakan, agar cahayanya dapat menerangi sekelilingnya. Injil adalah sebuah terang yang luar biasa kuat dan membawa bukti yang sangat banyak mengenai dirinya sendiri, sehingga seperti kota yang terletak di atas gunung, terang itu tidak mungkin tersembunyi. Tidak bisa tidak, terang itu pasti tampak sebagai terang yang berasal dari Allah bagi orang-orang yang rela membuka mata untuk terang itu. Injil akan menerangi semua orang yang ada di dalam rumah, menerangi semua orang yang bersedia mendekat dan datang ke tempat terang itu berada. Orang-orang yang tidak menerima terang itu harus bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Mereka tidak akan berada di dalam rumah bersama terang itu. Orang-orang demikian tidak akan mau mencari tahu dengan tekun dan adil, melainkan hanya berprasangka buruk terhadap terang itu.
(2) Mereka harus bercahaya seperti terang:
[1] Melalui pemberitaan firman (khotbah) yang baik. Pengetahuan yang mereka miliki harus mereka sampaikan demi kebaikan orang lain. Bukan untuk diletakkan di bawah gantang, melainkan untuk disebarkan. Talenta tidak boleh dibungkus dalam saputangan, melainkan dikembangkan. Murid-murid Kristus tidak boleh meringkuk dan mengunci diri di balik dalih merenung, kerendahan hati, atau menjaga diri, sebaliknya, karena sudah menerima karunia, mereka juga harus melayani seorang akan yang lain (Luk. 12:3).
[2] Melalui cara hidup yang baik. Mereka harus menjadi pelita yang menyala dan yang bercahaya (Yoh. 5:35), harus membuktikan dalam seluruh tutur kata mereka, bahwa mereka benar-benar pengikut Kristus (Yak. 3:13). Mereka harus menjadi pemberi nasihat, pengarahan, dorongan, dan penghiburan bagi orang lain (Ayb. 29:11).
Lihatlah di sini, Pertama, bagaimana terang kita harus bercahaya – dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang dapat dilihat dan diakui orang. Perbuatan-perbuatan yang demikian merupakan kabar baik bagi mereka yang tidak mengalaminya, dan membuat mereka berpikir yang baik mengenai Kekristenan. Kita harus melakukan perbuatan baik supaya dapat dilihat untuk menjadi kebaikan bagi orang lain, dan bukan supaya dapat dilihat untuk mendatangkan pujian bagi diri kita. Kita diminta untuk berdoa di tempat tersembunyi, dan apa yang ada di antara Allah dan jiwa kita haruslah disimpan bagi diri kita sendiri. Namun, apa yang memang terbuka dan tampak jelas dengan sendirinya oleh orang lain, harus kita usahakan agar sesuai dengan pengakuan iman kita dan layak dipuji (Flp. 4:8). Orang-orang di sekitar kita bukan saja harus mendengar perkataan baik kita, melainkan juga harus dapat melihat perbuatan baik kita, supaya dengan demikian mereka dapat diyakinkan bahwa agama bukanlah sekadar nama saja, dan bahwa bukan saja kita mengakuinya, tetapi juga tinggal di bawah kuasanya.
Kedua, untuk tujuan apa terang kita harus bercahaya – “Supaya orang-orang yang melihat perbuatanmu yang baik dapat dibawa, bukan untuk memuliakan kamu (yang menjadi tujuan orang Farisi sehingga justru merusak seluruh usaha mereka), tetapi untuk memuliakan Bapamu yang di sorga.” Perhatikanlah, kemuliaan Allah adalah hal terbesar yang harus menjadi tujuan kita dalam semua hal yang kita lakukan dalam ibadah kita (1Ptr. 4:11). Seluruh arah tindakan kita harus berpusat pada hal ini. Kita bukan saja harus berupaya keras untuk memuliakan Allah, namun juga melakukan apa saja untuk membawa orang lain memuliakan Dia. Orang dapat melihat perbuatan baik kita dan memuliakan Allah, jika kita melengkapinya:
1. Dengan sesuatu yang pantas dipuji. “Biarlah mereka melihat perbuatanmu yang baik, agar mereka dapat melihat kuasa anugerah Allah di dalam dirimu, dan bersyukur kepada-Nya untuk hal itu, serta memuliakan Dia yang telah memberikan kuasa sedemikan itu kepada manusia.”
2. Dengan alasan kesalehan. “Biarlah mereka melihat perbuatanmu yang baik, agar mereka dapat diyakinkan tentang kebenaran dan keunggulan agama Kristen dan digerakkan oleh suatu keinginan kudus untuk meneladani perbuatan baikmu itu, sehingga dengan demikian mereka juga dapat memuliakan Allah.” Perhatikanlah, tutur kata yang kudus, bersahaja, dan patut diteladani dari orang-orang kudus dapat sangat berpengaruh terhadap pertobatan orang berdosa. Tutur kata yang demikian juga dapat menarik orang-orang yang tidak mengenal agama Kristen untuk belajar mengetahui apa agama Kristen itu. Teladan mampu mengajar orang. Dengan cara ini, orang-orang yang berprasangka buruk terhadap Kekristenan dapat dibuat jatuh cinta dengannya. Jadi, memang ada manfaat yang dapat memenangkan jiwa orang dalam tutur kata yang saleh.
17 “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat dan kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. 18 Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. 19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi dalam Kerajaan Sorga. 20 Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”
Orang-orang yang kepadanya Kristus berkhotbah dan deminya Ia menyampaikan pengajaran ini kepada murid-murid-Nya, menjalankan agama dengan memperhatikan:
1. Kitab Suci Perjanjian Lama sebagai peraturan mereka, dan Kristus menunjukkan bahwa mereka benar dalam melakukan demikian.
2. Para ahli Taurat dan orang Farisi sebagai contoh, dan Kristus menunjukkan bahwa dalam hal ini mereka keliru, sebab:
I. Peraturan yang hendak dicanangkan Kristus dengan kedatangan-Nya itu sepenuhnya sesuai dengan Kitab Suci Perjanjian Lama, yang di sini disebut dengan hukum Taurat dan kitab para nabi. Para nabi merupakan penafsir hukum Taurat, dan keduanya bersama-sama membentuk aturan iman dan perilaku yang memerintah atas jemaat Yahudi seperti yang ditemukan Kristus, dan di sini Ia menjaga agar hal itu tetap demikian.
1. Kristus membantah dugaan bahwa Ia hendak meniadakan dan memperlemah Perjanjian Lama. “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat dan kitab para nabi.”
(1) “Bagi orang-orang Yahudi saleh, yang sangat mencintai hukum Taurat dan kitab para nabi, janganlah takut bahwa Aku datang untuk meniadakannya.” Janganlah mereka berprasangka buruk terhadap Kristus dan pengajaran-Nya, dengan merasa iri kalau-kalau kerajaan yang hendak didirikan-Nya itu akan melecehkan kehormatan Kitab Suci, yang mereka yakini berasal dari Allah, dan yang telah mereka alami kuasa dan kemurniannya. Tidak, biarlah mereka merasa lega karena Kristus tidak mempunyai maksud buruk terhadap hukum Taurat dan kitab para nabi. “Jangan biarkan orang Yahudi yang tidak hidup suci, yang tidak mengasihi hukum Taurat dan kitab para nabi, yang merasa letih dengan beban ini, berharap bahwa Aku datang untuk menghapusnya.” Jangan biarkan orang-orang yang tidak menghormati kaum hukum dan yang hidup duniawi itu berkhayal bahwa Mesias datang untuk membebaskan mereka dari kewajiban terhadap aturan-aturan ilahi, supaya dengan demikian mereka akan menerima janji-janji ilahi, mereka akan senang, dan boleh bebas menjalani hidup sesuka hati mereka sendiri. Kristus tidak memerintahkan orang untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum alam ataupun moral. Dia juga tidak melarang orang melakukan apa yang diperintahkan oleh hukum-hukum itu. Sungguh keliru untuk berpikir bahwa Ia melakukan semuanya ini, dan karena itu di sini Ia berusaha meluruskan kekeliruan itu. Aku datang bukan untuk meniadakannya. Sang Penyelamat jiwa tidak membinasakan apa pun kecuali perbuatan-perbuatan Iblis. Dia tidak menghancurkan apa saja yang datang dari Allah, apalagi ketetapan-ketetapan luar biasa yang kita dapatkan dari Musa dan para nabi. Tidak, Ia datang untuk menggenapinya, yaitu:
[1] Untuk mematuhi perintah-perintah hukum Taurat, sebab Dia diutus untuk taat kepada hukum Taurat (Gal. 4:4). Dalam segala perkara Ia tunduk kepada hukum Taurat, menghormati orangtuanya, menguduskan hari Sabat, berdoa, memberikan sedekah, melakukan hal-hal yang belum pernah diperbuat orang lain, taat sepenuhnya, dan tidak pernah melanggar hukum dalam hal apa pun.[2] Untuk menggenapi janji-janji hukum Taurat dan nubuat para nabi yang semuanya bersaksi tentang diri-Nya. Pada hakikatnya, perjanjian anugerah di zaman sekarang sama dengan dahulu, dan Kristus adalah Pengantaranya.
[3] Untuk menggenapkan bayang-bayang hukum Taurat, dengan demikian (seperti yang diungkapkan uskup Tillotson), “Ia tidak meniadakan, melainkan menggenapi hukum upacara, dan menyatakan diri sebagai Hakikat dari semua bayang-bayang itu.”
[4] Untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya, sehingga dengan demikian melengkapi dan menyempurnakannya. Demikianlah yang tepatnya dimaksudkan dengan istilah plērōsai. Jika kita mengumpamakan hukum sebagai sebuah wadah yang sudah ada air di dalamnya, maka Dia datang bukan untuk menumpahkan air itu, melainkan untuk mengisi wadah itu sampai penuh. Atau, seperti sebuah lukisan, yang mula-mula dibuat gambaran kasarnya dulu untuk menunjukkan garis-garis besar benda yang mau dilukis, dan barulah setelah itu garis-garis besar itu diisi. Demikianlah Kristus memperbaiki hukum Taurat dan kitab para nabi melalui penambahan-penambahan dan penjelasan-penjelasan terperinci-Nya.
[5] Untuk melanjutkan rancangan yang sama. Lembaga-lembaga Kristen sama sekali tidak merintangi dan melawan apa yang telah menjadi rancangan utama agama Yahudi. Sebaliknya, mereka justru menjunjung tinggi rancangan itu. Injil adalah waktu pembaruan (Ibr. 9:10), bukan untuk mencabut hukum, melainkan untuk menambahkannya, dan oleh karena itu, meneguhkannya.
2. Ia menegaskan kekekalan hukum Taurat, bahwa Dia bukan saja tidak bermaksud untuk membatalkannya, tetapi juga bahwa hukum itu tidak pernah boleh ditiadakan (ay. 18). “Aku berkata kepadamu, Aku, Sang Amin, Saksi yang setia, dengan sungguh hati menyatakan, bahwa selama belum lenyap langit dan bumi ini, sang waktu belum lagi lenyap, dan selama pahala yang kekal itu belum menggantikan segala hukum, satu iota atau satu titik pun, hal yang paling remeh sekalipun, tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi”; sebab, untuk apa lagi Allah menjalankan pemeliharaan dan anugerah-Nya, kalau bukan untuk menggenapi Kitab Suci itu sendiri? Langit dan bumi akan bersatu, dan seluruh kepenuhannya akan dilanda kehancuran dan kekacauan, tetapi tidak satu pun Firman Allah yang akan gugur atau menjadi sia-sia. Firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya, baik dalam hukum Taurat maupun dalam Injil. Perhatikanlah, pemeliharaan Allah atas hukum-Nya mencakup bahkan hal-hal yang tampak paling remeh sekalipun, sampai ke iota dan titik. Sebab, apa pun yang menjadi milik Allah, dan yang membawa meterai-Nya, sekecil apa pun itu adanya, akan dipelihara. Hukum-hukum manusia disadari sangat tidak sempurna adanya, sampai dalam hukum-hukum itu sendiri dikenal sebuah pepatah, Apices juris non sunt jura – Puncak-puncak tertinggi dalam hukum bukanlah hukum itu sendiri. Tetapi, berbeda dengan itu, Allah akan selalu siap dan memelihara setiap iota dan titik dari hukum-Nya.
3. Ia menyuruh murid-murid-Nya untuk memelihara hukum Taurat itu dengan hati-hati, dan menunjukkan kepada mereka bahaya yang timbul akibat melalaikan dan mencelanya (ay. 19). Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, apa lagi yang besar, seperti yang dilakukan orang Farisi, yang melalaikan urusan-urusan hukum Taurat yang penting dan mengajarkan orang lain untuk melakukan demikian, serta yang melanggar perintah Allah demi adat istiadat mereka (15:3), ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga. Meskipun orang-orang Farisi dipuji-puji sebagai guru-guru yang hebat, mereka tidak akan dipakai sebagai guru dalam kerajaan Kristus. Tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat sebagaimana yang dilakukan murid-murid Kristus, yang dengan demikian membuktikan bahwa mereka lebih bersahabat dengan Perjanjian Lama dibandingkan orang Farisi, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga meskipun dicela manusia. Perhatikanlah:
(1) Di antara perintah-perintah Allah, terdapat beberapa yang dianggap kurang penting dibandingkan yang lain. Tidak ada yang benar-benar kecil, namun sebagian lebih tidak penting kalau dibanding-bandingkan. Orang Yahudi menganggap perintah terkecil dalam hukum Taurat adalah perintah tentang memperlakukan sarang burung (Ul. 22:6-7). Namun, bahkan itu pun ternyata cukup penting dan memiliki tujuan yang sangat besar dan luar biasa.
(2) Sungguh berbahaya, baik dalam ajaran maupun pelaksanaannya, bila kita membatalkan perintah Allah yang terkecil sekalipun; sebab, jika kita melanggarnya, yakni jika kita berusaha untuk mengecilkan artinya atau mengurangi kewajiban kita untuk menjalankannya, siapa pun yang berbuat demikian akan menanggung akibatnya. Jadi, menghilangkan salah satu dari kesepuluh perintah Allah itu adalah tindakan yang terlampau berani untuk dilewatkan begitu saja oleh Allah yang cemburu. Ini lebih dari sekadar melanggar hukum, ini berarti meniadakan hukum Taurat (Mzm. 119:126).
(3) Semakin meluas penyimpangan itu, semakin buruk pula perbuatan itu. Melanggar perintah sudah cukup lancang, tetapi mengajarkannya kepada orang lain bahkan lebih buruk lagi. Hal ini jelas menunjuk kepada orang-orang yang ketika itu duduk di kursi Musa, yang merusak dan menodai firman Allah melalui penafsiran mereka. Pandangan-pandangan yang cenderung menghancurkan kesalehan yang sebenarnya dan merusak bagian-bagian penting dari agama, melalui tafsiran yang menyimpang atas firman Allah, sungguh buruk bila dipegang, namun lebih buruk lagi bila pandangan demikian disebarkan dan diajarkan sebagai firman Allah. Orang yang berbuat demikian akan disebut yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga, kerajaan yang mulia itu. Ia selamanya tidak akan pernah masuk ke sana, melainkan dikucilkan untuk selamanya dari Kerajaan Gereja-Injil. Ia sungguh tidak layak menerima martabat seorang guru di dalam kerajaan itu, sehingga ia bahkan tidak dianggap sebagai bagian darinya. Nabi yang mengajarkan dusta-dusta ini akan menjadi ekor dalam kerajaan itu (Yes. 9:14). Ketika kebenaran terungkap berdasarkan bukti yang ada di dalam dirinya sendiri, guru-guru semacam ini, meskipun dipuji-puji seperti halnya orang Farisi, tidak akan diperhitungkan di antara orang-orang bijak dan baik. Tidak ada hal lain yang dapat membuat para hamba Tuhan lebih rendah dan hina selain merusak hukum Taurat (Mal. 2:8, 11). Orang-orang yang menganggap enteng dan mendorong perbuatan dosa, yang menolak dan membenci ketegasan dalam ibadah dan penyembahan, merupakan sampah Gereja. Sebaliknya, orang-orang yang hidup sesuai dengan ajaran hukum untuk mengejar kemurnian dan beribadah dengan tekun, merekalah yang sungguh akan dihormati dan dinilai tinggi dalam Gereja Kristus. Mereka ini melakukan sekaligus mengajarkan hal-hal yang baik. Orang yang tidak melakukan apa yang dia sendiri ajarkan adalah ini seperti orang yang meruntuhkan dengan tangan yang satu apa yang telah dibangun oleh tangannya yang lain. Dengan cara ini, ia menipu dirnya sendiri dan menjerumuskan orang lain untuk berpikir bahwa agama itu hanyalah khayalan semata. Namun, orang-orang yang berbicara berdasarkan pengalaman, yang hidup berdasarkan apa yang mereka khotbahkan, benar-benar merupakan orang besar. Mereka menghormati Allah, dan Allah akan menghormati mereka (1Sam. 2:30), dan setelah itu mereka akan bersinar bagaikan bintang-bintang dalam Kerajaan Bapa kita.
II. Kebenaran yang hendak ditegakkan Kristus berdasarkan aturan ini harus melebihi kebenaran para ahli Taurat dan orang Farisi (ay. 20). Ini merupakan ajaran yang aneh bagi orang-orang yang menganggap ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi sebagai orang-orang yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam agama. Para ahli Taurat adalah pengajar hukum Taurat yang paling terkemuka, sedangkan orang Farisi merupakan para pengikut hukum yang paling ternama, dan kedua kelompok ini duduk di kursi Musa (23:2). Mereka sangat dikenal baik sebagai orang-orang yang sangat patuh terhadap hukum Taurat. Orang-orang biasa tidak berani berpikir bahwa mereka bisa sebaik kedua kelompok ini. Oleh sebab itu mereka sangat terkejut ketika mendengar bahwa mereka haruslah lebih baik daripada para ahli Taurat dan orang Farisi, karena bila tidak, mereka tidak akan dapat masuk sorga. Itulah sebabnya Kristus menegaskan hal tersebut dengan sungguh-sungguh, Aku berkata kepadamu, memang demikianlah halnya. Ahli-ahli Taurat dan orang Farisi memusuhi Kristus dan ajaran-Nya. Mereka merupakan penentang-penentang yang keras terhadap Dia. Meskipun demikian, haruslah diakui bahwa ada sesuatu yang patut dipuji dalam diri mereka. Mereka sangat rajin berpuasa, berdoa, dan memberikan sedekah. Mereka sangat teliti dalam mengamati jalannya upacara dan giat mengajar orang lain. Karena begitu menaruh perhatian pada orang-orang lain, mereka menyangka bahwa sekiranya hanya ada dua orang yang masuk ke sorga, maka salah satunya pastilah orang Farisi. Namun, di sini Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya bahwa agama yang hendak dikukuhkan-Nya adalah bukan saja untuk menyingkirkan kejahatan, tetapi juga untuk melebihi kebaikan para ahli Taurat dan orang Farisi. Kita harus berbuat lebih banyak dan lebih baik lagi daripada mereka, atau kita tidak akan masuk sorga. Mereka menjalankan hukum dengan setengah-setengah dan sangat menekankan bagian upacaranya. Karena itu, ibadah kita harus bersifat menyeluruh, tidaklah cukup bagi kita untuk hanya memberikan persepuluhan kepada hamba Tuhan. Lebih dari itu, kita harus memberikan hati kita kepada Allah. Para ahli Taurat dan kaum Farisi ini hanya peduli dengan bagian lahiriah saja, tetapi kita ini harus memperhatikan kesalehan batiniah. Tujuan mereka hanyalah untuk mendapatkan pujian dan penghargaan manusia, tetapi tujuan kita adalah perkenan dan penerimaan oleh Allah. Mereka bangga akan apa yang mereka jalankan dalam ibadah dan mempercayainya sebagai suatu kebenaran, tetapi kita, setelah melakukan semua itu, harus menyangkal diri, dan berkata, Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, dan hanya percaya kepada kebenaran Kristus semata. Dengan cara inilah kita akan melebihi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
21 “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. 22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. 23 Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, 24 tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. 25 Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. 26 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.”
Setelah Kristus menetapkan aturan-aturan dasar ini, bahwa para ahli Taurat dan orang-orang Farisi tidak lagi menjadi pemimpin mereka, tetapi bahwa Musa dan para nabi tetap ada, Ia melanjutkan penjelasan-Nya mengenai hukum Taurat dengan memberikan beberapa contoh tertentu dan membersihkannya dari tafsiran-tafsiran keliru yang telah diberikan para penafsir itu. Ia tidak menambahkan hal baru, namun hanya membatasi dan mengendalikan beberapa aturan hukum yang diperbolehkan namun telah disalahgunakan. Mengenai aturan-aturan itu, Ia menunjukkan keluasannya, ketegasannya, dan sifat rohani di dalamnya, sambil menambahkan peraturan yang bersifat menjelaskan agar mereka lebih memahaminya, dan ini bertujuan untuk menyempurnakan kepatuhan kita kepada peraturan-peraturan itu. Dalam ayat-ayat ini, Ia menjelaskan perintah keenam dari Sepuluh Perintah Allah sesuai dengan maksudnya yang sebenarnya dan sampai sejauh mana hukum tersebut berlaku.
I. Di sini perintah itu dikemukakan (ay. 21). Kamu telah mendengar, dan mengingatnya. Ia berbicara kepada mereka yang mengenal hukum Taurat, yang mendengarkan hukum Musa dibacakan di rumah ibadat setiap hari Sabat. Kamu telah mendengar hal itu dikatakan oleh mereka, atau lebih tepat, kepada nenek moyang kita, yaitu bangsa Yahudi, “Jangan membunuh.” Perhatikanlah, hukum-hukum Allah bukanlah hukum-hukum yang baru dibuat, tetapi sudah diberikan kepada orang-orang sejak dahulu kala. Hukum-hukum-Nya merupakan hukum kuno, namun tidak pernah ketinggalan zaman ataupun menjadi usang. Hukum moral sejalan dengan hukum alam serta aturan-aturan dan alasan-alasan yang kekal mengenai yang baik dan yang jahat, yaitu kebenaran Akal Budi yang abadi. Di sini membunuh dilarang, baik membunuh diri sendiri, ataupun membunuh orang lain, langsung atau tidak langsung, ataupun terlibat dengan perbuatan itu dalam segala cara. Hukum Allah, Allah kehidupan ini, adalah pagar pelindung bagi kehidupan kita. Ini adalah salah satu peraturan nabi Nuh (Kej. 9:5-6).
II. Penjelasan para guru Yahudi atas perintah ini. Penjelasan mereka adalah, siapa yang membunuh harus dihukum. Hanya inilah yang dapat mereka katakan mengenai hukum membunuh tersebut, yaitu bahwa orang yang sengaja membunuh patut menerima pedang keadilan, sedangkan mereka yang membunuh secara tidak sengaja layak dihukum melarikan diri ke kota perlindungan (Bil. 35). Tempat pengadilan terletak di gerbang kota-kota besar; biasanya para hakim berjumlah dua puluh tiga orang, dan mereka inilah yang mengadili, menjatuhkan hukuman dan melaksanakannya atas para pembunuh. Dengan demikian, siapa pun yang membunuh akan menerima penghukuman mereka. Sekarang, tafsiran mereka atas perintah ini ternyata keliru, sebab mengisyaratkan:
1. Bahwa hukum dari perintah keenam ini hanyalah bersifat lahiriah, dan tidak melarang hal selain tindakan pembunuhan itu saja. Tafsiran mereka tidak mengekang nafsu batin, yang merupakan sumber timbulnya sengketa dan pertengkaran. Ini benar-benar merupakan prōton pseudos – kesalahan mendasar para guru Yahudi, yaitu bahwa hukum ilahi hanya melarang perbuatan dosa dan tidak melarang pikiran yang berdosa pula. Mereka hanya terpaku pada hærere in cortice – bersandar pada huruf-huruf dalam hukum Taurat, dan tidak pernah menggali makna rohaninya. Ketika masih menjadi orang Farisi, Paulus juga demikian, sampai melalui pengertian akan perintah kesepuluhlah, anugerah ilahi menuntunnya ke dalam pengetahuan akan segi rohani dari perintah-perintah lainnya (Rm. 7:7, 14).
2. Kesalahan mereka yang lain adalah bahwa mereka menganggap hukum ini hanya bersifat politis dan terbatas untuk bangsa Yahudi semata, diberikan untuk mereka saja, dan dimaksudkan hanya sebagai pedoman bagi pengadilan mereka semata; seakan-akan hanya bangsa mereka sajalah satu-satunya yang ada dan kebijakan hukum itu pastilah harus menjadi milik mereka saja.
III. Uraian yang diberikan Kristus mengenai perintah ini. Kita yakin bahwa menurut uraian-Nya kita kelak pasti dihakimi, dan oleh sebab itu, kita harus mengetahui aturan itu sekarang. Perintah-Nya luas sekali, dan tidak dibatasi oleh keinginan daging atau kehendak manusia.
1. Kristus mengatakan kepada mereka bahwa kemarahan tanpa pikir panjang sama saja dengan membunuh dalam hati (ay. 22). Setiap orang yang marah terhadap saudaranya (kjv menambahkan: tanpa sebab) telah melanggar perintah keenam. Kita harus memahami bahwa yang dimaksudkan dengan saudara di sini adalah siapa saja, meskipun kedudukannya jauh di bawah kita, misalnya anak atau pelayan, sebab kita semua diciptakan dari satu darah. Kemarahan adalah gejolak hati yang alami. Ada beberapa perkara yang membuat kemarahan sah-sah saja dan bahkan terpuji. Tetapi hal ini akan disebut dosa apabila kita marah tanpa sebab. Istilahnya adalah eikē, yang berarti sine causâ, sine effectu, et sine modo – tanpa sebab, tanpa pengaruh yang baik, tanpa penguasaan diri. Jadi, kemarahan merupakan dosa:
(1) Apabila terjadi tanpa ada yang memancingnya, yakni tanpa suatu sebab, atau tanpa suatu sebab yang pantas, atau tanpa suatu sebab yang besar dan masuk akal. Misalnya, kita marah kepada anak-anak atau pembantu karena kita tidak bisa menahan diri, padahal yang mereka lakukan hanyalah kealpaan atau kesalahan kecil saja yang kita sendiri juga mudah lakukan, dan yang tentangnya kita tidak perlu kesal terhadap diri sendiri. Contoh lain lagi, yaitu bila kita marah terhadap prasangka-prasangka yang tidak berdasar atau celaan sepele yang tidak layak dipermasalahkan.
(2) Apabila dilakukan tanpa suatu tujuan yang baik, melainkan hanya sekadar untuk memamerkan kekuasaan, memuaskan nafsu kedagingan, untuk menunjukkan kekesalan kita kepada orang, dan memanasi diri guna membalas dendam. Kemarahan semacam ini sia-sia sifatnya, hanya menyakiti hati saja. Jika kita sewaktu-waktu marah, ini haruslah dengan tujuan menyadarkan orang yang bersalah itu agar bertobat dan mencegahnya mengulangi perbuatan itu; atau, untuk membela diri (2Kor. 7:11), dan untuk memperingatkan orang lain.
(3) Apabila melampaui batas, bila kita bersikap keras kepala dalam kemarahan kita, kasar dan keras, mengamuk dan bertindak jahat, serta bermaksud menyakiti orang-orang yang tidak kita sukai. Ini adalah pelanggaran terhadap perintah keenam, sebab orang yang marah seperti ini akan membunuh seandainya mampu dan berani melakukannya. Ia telah mengambil langkah pertama untuk membunuh. Kain membunuh adiknya karena diawali kemarahan. Dalam pemandangan Allah, Kain adalah seorang pembunuh, karena Allah mengenal hatinya, yang merupakan sumber keinginan untuk membunuh (15:19).
2. Kristus berkata kepada mereka bahwa menggunakan kata-kata keji kepada saudara kita adalah pembunuhan dengan lidah, seperti misalnya menyebutnya kafir dan jahil. Apabila ini dilakukan dengan halus dan untuk tujuan baik, untuk menyadarkan orang lain akan kesia-siaan dan kebodohan mereka, ini bukanlah dosa. Karena itu, kita temukan Yakobus berkata, “Hai manusia yang bebal”), sedangkan Paulus berkata, “Hai orang bodoh”, dan Kristus sendiri berkata, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu”. Namun, jika kata-kata itu keluar karena kemarahan dan kebencian, ini bagaikan asap dari api yang dinyalakan dari neraka.
(1) Kafir adalah perkataan yang menghina dan keluar dari kesombongan. Ucapan “Kamu orang yang tidak berguna” adalah kata-kata yang disebut Salomo sebagai pencemooh yang sombong (Ams. 21:24), yang menginjak-injak saudara kita – yang dipandang terlalu hina untuk ditempatkan bersama-sama dengan anjing penjaga kambing domba. Tutur kata lain yang seperti ini adalah, “Orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka” (Yoh. 7:49).
(2) Jahil adalah istilah yang penuh rasa dendam dan berasal dari kebencian. Kata ini bukan saja menganggap orang tersebut jahat dan tidak layak dihormati, tetapi juga kotor dan tidak pantas dikasihi. “Kamu manusia fasik, manusia celaka.” Perkataan pertama di atas berbicara tentang orang yang tidak punya akal, perkataan kedua ini (dalam istilah alkitabiah) artinya orang tanpa anugerah. Semakin teguran itu menyentuh keadaan rohaninya, semakin jahat dia jadinya. Sebutan pertama merupakan ejekan penuh kecongkakan terhadap saudara kita, sebutan kedua adalah kecaman yang jahat dan mengutuk dirinya, seakan ia dibuang Allah. Ini adalah pelanggaran terhadap perintah keenam. Fitnah yang jahat dan kecaman seperti bisa di bawah lidah, membunuh dengan diam-diam dan perlahan. Kata yang pahit seperti panah yang meluncur dengan tiba-tiba (Mzm. 140:4), atau seperti pedang yang menusuk tulang. Dengan demikian, nama baik sesama kita, yang lebih baik daripada hidup itu sendiri, telah ditikam dan dibunuh. Ini membuktikan bahwa perkataan demikian, kalau kita lakukan, memiliki keinginan jahat yang bisa menghantam kehidupan sesama kita.
3. Kristus berkata kepada mereka, bahwa seringan apa pun mereka menganggap dosa-dosa ini, suatu saat mereka pasti harus mempertanggungjawabkan semuanya. Orang yang marah terhadap saudaranya berada dalam bahaya akan dihukum dan dimurkai Allah. Orang yang berkata, “Kafir!” harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan dihukum oleh dewan Sanhedrin karena mencerca orang Israel. Tetapi siapa yang berkata, “Jahil, orang celaka, anak neraka,” akan diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala karena mengutuki saudaranya, begitulah yang dikatakan Dr. Whitby yang cendekia itu. Beberapa orang berpikir bahwa, dengan secara tidak langsung mengacu kepada berbagai hukuman yang dijatuhkan dalam pengadilan orang Yahudi, Kristus menunjukkan bahwa dosa, akibat kemarahan yang dilakukan tanpa pikir panjang itu, memperhadapkan orang pada hukuman yang lebih ringan atau berat, sesuai dengan derajat perkembangannya. Orang Yahudi memiliki tiga macam hukuman berat, dengan tingkatan yang berbeda-beda beratnya. Hukuman pancung yang dijatuhkan pengadilan, hukuman dirajam dengan batu yang dijatuhkan oleh dewan Sanhedrin, dan hukuman dibakar di Lembah Ben-Hinom yang hanya dilakukan untuk perkara-perkara luar biasa. Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun kemarahan tanpa pikir panjang dan tutur kata penuh kecaman termasuk dosa mengutuk, sebagian di antaranya lebih jahat daripada yang lainnya, dan oleh karena itu ada kutukan dan hukuman yang lebih berat lagi yang tersedia bagi dosa-dosa ini. Dengan demikian Kristus menunjukkan dosa mana yang paling jahat, yaitu dengan menyatakan hukuman yang paling mengerikan bagi dosa tersebut.
IV. Dari semua hal ini, di sini dapat diambil kesimpulan bahwa kita harus memelihara dengan cermat kasih dan perdamaian kristiani di antara sesama saudara. Setiap kali terjadi pelanggaran, kita harus berusaha keras menciptakan perdamaian dengan mengakui kesalahan kita, merendahkan diri terhadap saudara kita, meminta maaf kepadanya, dan mengadakan pemulihan atau menawarkan ganti rugi bagi kesalahan yang telah kita perbuat, baik dalam perkataan maupun perbuatan, sesuai permasalahannya. Semua ini harus segera kita lakukan karena dua alasan:
1. Sebab sebelum hal-hal ini dilaksanakan, kita sama sekali tidak layak berhubungan dengan Allah dengan segala ketetapan-Nya yang kudus (ay. 23-24). Perkara yang dibicarakan adalah, “Sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau,” bahwa engkau telah melukai dan menyakiti hatinya, baik memang demikian halnya maupun menurut pengertian saudara itu. Jika engkau pihak yang disakiti, jangan menundanya. Jika ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, janganlah memperpanjang urusan, tidak ada lagi yang patut dilakukan selain mengampuninya (Mrk. 11:25) dan memaafkan luka yang telah ditimbulkannya. Tetapi jika perselisihan itu diawali di pihakmu, dari sejak awal atau sesudahnya itu adalah kesalahanmu, sehingga timbul sesuatu dalam hati saudaramu, pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, sebelum mempersembahkan persembahanmu di mezbah, sebelum engkau menghampiri Allah dengan khidmat dalam ibadah Injili melalui doa dan pujian, sambil mendengarkan firman yang disampaikan selama ibadah. Perhatikanlah:
(1) Dalam menjalankan kegiatan ibadah dalam bentuk apa saja, alangkah baiknya bagi kita untuk menyediakan waktu untuk merenung dan memeriksa diri kita. Ada begitu banyak hal yang harus kita ingat saat membawa persembahan ke atas mezbah, dan salah satunya adalah, apakah ada sesuatu dalam hati saudara kita terhadap diri kita; dan jika sekiranya memang ada sesuatu masalah, maka kita harus bersungguh-sungguh untuk menyelesaikannya lebih dulu.
(2) Kegiatan ibadah tidak akan diterima Allah apabila kita menjalankannya dengan hati dalam keadaan marah. Iri hati, keinginan untuk berbuat jahat, dan ketiadaan belas kasihan merupakan dosa-dosa yang sangat tidak menyukakan hati Allah. Tiada lain lagi yang begitu mendukakan Dia selain hati yang dipenuhi dengan dosa-dosa ini (1Tim. 2:8). Doa-doa yang dirancang dengan kemarahan bagaikan ditulis dengan empedu (Yes. 1:15; 58:4).
(3) Kasih dan kemurahan hati jauh lebih baik daripada korban sembelihan dan korban-korban bakaran, sedemikian baiknya hingga Allah lebih menghendaki bila perdamaian dengan saudara yang disakiti itu diselesaikan terlebih dahulu sebelum persembahan kepada diri-Nya sendiri dihaturkan. Ia lebih suka menunggu daripada menerima persembahan yang kita berikan dalam keadaan masih bersalah dan terlibat perselisihan dengan seorang saudara.
(4) Walaupun kita tidak layak untuk bersekutu dengan Allah, kalau kita masih terus bertengkar dengan saudara kita, namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak melakukan atau melalaikan kewajiban kita, “Tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu, sebab bila tidak, setelah pergi, engkau tergoda untuk tidak kembali lagi.” Banyak orang memakai hal ini sebagai alasan mengapa mereka tidak datang ke gereja atau persekutuan, yaitu karena mereka sedang berselisih pendapat dengan sesama. Salah siapakah ini sebenarnya? Satu dosa tidak akan pernah dapat menjadi dalih untuk melakukan dosa yang lain, sebaliknya itu justru melipatgandakan kesalahan itu. Kekurangan kasih terhadap sesama tidak dapat membenarkan kekurangan kesalehan. Sebenarnya, kesulitan ini mudah saja diatasi. Kita harus mengampuni orang-orang yang bersalah kepada kita, dan bila kita bersalah terhadap orang lain, kita harus membereskannya, atau setidaknya memperbaiki keadaannya, dan menginginkan pembaruan persahabatan, sehingga bila tidak tercapai perdamaian sekalipun, itu bukanlah kesalahan kita. Lalu kembalilah, kembali dan selamat datang, kembali dan persembahkan persembahanmu itu, dan persembahan itu akan diterima. Oleh sebab itu janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu pada hari itu, sebab kita harus berdoa sebelum pergi tidur. Lebih-lebih lagi, janganlah sampai matahari terbit sebelum padam amarahmu pada hari Sabat, sebab ini adalah hari doa.
2. Karena sebelum ini dilaksanakan, kita menghadapi ancaman besar (ay. 25-26). Sungguh berbahaya apabila kita tidak berusaha keras untuk berdamai, dan ini harus dilakukan dengan segera, karena dua tanggung jawab:
(1) Tanggung jawab sementara. Jika pelanggaran yang telah kita lakukan terhadap saudara kita, baik terhadap tubuh jasmani, harta, maupun nama baiknya, sedemikian besarnya hingga dapat mendatangkan kerugian besar baginya, maka kita harus bijaksana, dengan mengingat kewajiban kita terhadap keluarga kita, untuk mencegah terjadinya hal itu dengan bersikap rendah hati dan mengusahakan pemulihan yang adil dan damai. Sebab, jika kita tidak melakukan hal ini, bisa-bisa orang itu akan menuntut kita secara hukum dan, yang lebih buruk lagi, kita dipenjarakan. Karena itu, lebih baik kita berdamai dan menyelesaikan masalahnya daripada bersikeras dengan masalah tersebut. Sebab sia-sia saja untuk menentang hukum, karena ada bahaya kita bisa terlindas olehnya. Banyak orang hanya menghancurkan diri mereka sendiri karena bersikeras dengan pelanggaran yang mereka lakukan terhadap orang lain, padahal sebenarnya masalahnya dapat didamaikan asalkan mereka mau bersedia pada awalnya. Saran Salomo supaya kita aman-aman saja adalah, “pergilah, berlututlah, dan dengan demikian tetapkan hatimu supaya engkau bisa melepaskan dirimu” (Ams. 6:1-5). Sungguh baik untuk membuat kesepakatan, sebab hukum mahal harganya. Seperti kita harus berbelas kasihan terhadap orang-orang yang kita kuasai, maka kita juga harus berbuat adil terhadap mereka yang menguasai kita, semampu kita. “Buatlah kesepakatan dan segeralah berdamai dengan lawanmu, jangan sampai ia merasa kesal dengan sikap keras kepalamu itu dan terdorong untuk menuntut engkau seberat-beratnya dan tidak bersedia lagi untuk berdamai, yang mungkin sedianya mau dilakukannya.” Penjara merupakan tempat yang menyengsarakan bagi orang-orang yang dijebloskan ke dalamnya karena kesombongan, kedegilan, keras kepala, dan kebodohan mereka sendiri.
(2) Tanggung jawab rohani. “Pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, bersikap adil terhadapnya, bersahabat dengannya, sebab bila perselisihan ini terus berlangsung, maka, sama seperti engkau tidak layak untuk mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan tidak layak untuk datang ke meja Tuhan, demikian pula kematianmu nanti juga menjadi tidak layak. Jika engkau bertahan di dalam dosa ini, ada bahaya engkau akan disambar murka Allah, dan penghakiman-Nya tidak akan dapat kamu hindari atau tolak. Jika kesalahan itu ditimpakan ke atasmu, engkau akan binasa selamanya.” Neraka adalah penjara bagi semua orang yang hidup dan mati dalam kejahatan dan kebengisan, bagi semua orang yang hanya mencari kepentingan sendiri (Rm. 2:8), dan dari penjara itu, tidak ada penyelamatan, penebusan, dan jalan keluar lain lagi, sampai selama-lamanya.
Semuanya ini juga berlaku sepenuhnya dalam hubungan pendamaian kita dengan Allah melalui Kristus. Segeralah berdamai dengan Dia selama engkau masih di tengah jalan. Perhatikanlah:
[1] Allah yang mahakuasa itu adalah Lawan bagi semua pendosa, Antidikos – lawan secara hukum. Ia bertentangan dengan mereka, bertindak melawan mereka.
[2] Sudah menjadi urusan kita untuk berdamai dengan-Nya, untuk mengenal Dia, supaya kita merasa tenteram (Ayb. 22:21; 2Kor. 5:20).
[3] Kita harus bijaksana untuk melakukan ini dengan segera, sementara kita masih berada di tengah perjalanan. Kalau mati, sudah terlambat untuk melakukannya. Oleh sebab itu, janganlah membiarkan matamu tidur sampai hal ini dilakukan.
[4] Mereka yang terus bermusuhan dengan Allah, akan selalu berhadapan dengan jerat keadilan-Nya dan murka-Nya yang mengerikan. Kristus adalah Sang Hakim itu, dan kepada-Nya semua pendosa yang tidak mau bertobat akan diserahkan, sebab Sang Bapa telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak. Dia yang telah ditolak sebagai Juruselamat tidak dapat dihindari sebagai Hakim (Why. 6:16-17). Sungguh menakutkan untuk diserahkan seperti itu kepada Tuhan Yesus, karena Sang Anak Domba akan menjadi Singa. Para pendosa ini akan diserahkan kepada malaikat-malaikat, yang adalah para pambantu Kristus (13:41-42). Demikian pula dengan roh-roh jahat, yang berkuasa atas maut, untuk menjadi pelaksana hukuman atas semua orang yang tidak percaya (Ibr. 2:14). Neraka menjadi penjara tempat orang-orang yang terus bermusuhan dengan Allah akan dicampakkan (2Ptr. 2:4).
[5] Orang berdosa yang dikutuk harus tetap di situ sampai selamanya. Mereka tidak akan keluar dari sana, sebelum membayar utang mereka sampai lunas, dan ini tidak akan berakhir sampai selamanya. Demikianlah keadilan ilahi akan selamanya memuaskan, namun tidak pernah terpuaskan.
27 “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. 28 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. 29 Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. 30 Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. 31 Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. 32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.”
Di sini kita temukan uraian tentang perintah ketujuh, yang diberikan kepada kita oleh tangan yang sama yang membuat hukum itu, dan oleh sebab itu, Dialah yang pantas untuk menjelaskannya juga. Ini adalah hukum yang menentang kenajisan, yang cocok dengan hukum sebelumnya. Kalau hukum sebelum ini menetapkan pengendalian atas nafsu yang penuh dosa, hukum yang satu ini menetapkan pengendalian atas keinginan yang penuh dosa. Keduanya harus senantiasa berada di bawah kendali akal sehat dan hati nurani, karena kalau dituruti, keduanya sama-sama merusak.
I. Di sini, perintah itu disebutkan (ay. 27), “Jangan berzinah,” yang mencakup pelarangan atas semua perbuatan dan keinginan najis lainnya. Namun, orang Farisi yang membuat uraian tentang perintah ini hanya menetapkan larangan atas perbuatan zinah semata. Ini memberikan kesan bahwa jika satu tindakan asusila terjadi dalam hati saja dan tidak ditindaklanjuti, Allah tidak bisa mendengarnya dan tidak akan menganggapnya (Mzm. 66:18). Oleh sebab itu, bagi mereka ini sudah cukup untuk mengatakan bahwa mereka bukan orang-orang pezinah (Luk. 18:11).
II. Di sini hukum tersebut dijelaskan dengan setegas-tegasnya, dalam tiga hal, yang bisa tampak baru dan asing bagi orang-orang yang sudah sejak dahulu diatur oleh adat istiadat nenek moyang dan yang menganggap semua yang diajarkan itu sebagai aturan mutlak.
1. Di sini kita diajar bahwa berzinah di dalam hati memang ada, yakni berbagai pikiran dan kecenderungan yang zinah yang tidak dilanjuti dengan perbuatan zinah atau persetubuhan. Pencemaran yang diakibatkannya terhadap jiwa, yang dengan jelas dinyatakan di sini, bukan hanya dicantumkan di dalam perintah ketujuh, namun juga diperlambangkan dan dimaksudkan dalam banyak upacara pembasuhan di bawah hukum Taurat, seperti mencuci pakaian dan membasuh tubuh mereka dengan air. Setiap orang yang memandang perempuan (bukan hanya istri orang lain, seperti yang ditafsirkan sebagian orang, tetapi semua perempuan) serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya (ay. 28). Perintah ini bukan hanya melarang perbuatan zinah, melainkan juga
(1) Semua keinginan semacam itu, dan semua nafsu terhadap hal terlarang. Inilah permulaan dosa itu, keinginan yang telah dibuahi (Yak. 1:15). Ini adalah langkah buruk yang menuju dosa. Ketika nafsu itu menetap dan disetujui, hasrat asusila itu dikulum bagaikan kembang gula di bawah lidah, maka terjadilah perbuatan dosa, yang dilakukan oleh hati. Apa yang kurang hanyalah kesempatan yang cocok bagi dosa itu sendiri. Ovid, seorang penyair pernah menulis, “Adultera mens est” – Akal budi sudah tercemar. Nafsu adalah hati nurani yang tersandung atau melenceng. Melenceng karena tidak bersuara menentang dosa. Tersandung, karena tidak dapat menang atas apa yang dikatakannya sendiri.
(2) Semua hal yang mengarah ke perbuatan zinah itu; memuaskan mata dengan buah terlarang itu. Bukan sekadar memandang supaya bisa terangsang, tetapi menatap sampai benar-benar terbakar oleh nafsu itu, atau untuk memuaskannya ketika tidak ada cara lain lagi untuk memperolehnya. Mata merupakan jalan masuk dan keluar bagi banyak kejahatan semacam ini. Sebagai contoh, lihatlah majikan perempuan Yusuf (Kej. 39:7), Samson (Hak. 16:1), dan Daud (2Sam. 11:2). Kita membaca tentang mata yang penuh nafsu zinah yang tidak pernah jemu berbuat dosa (2Ptr. 2:14). Oleh sebab itu, betapa pentingnya kita menetapkan syarat bagi mata kita, seperti Ayub yang saleh itu), supaya mata kita hanya boleh memperoleh kepuasan dengan cara memandang cahaya matahari dan karya-karya Allah, dan tidak boleh pernah menatap dan berlama-lama memandang apa pun yang dapat menimbulkan khayalan atau hasrat najis. Dan, kalau mata kita sudah melakukannya, kita harus menyesalinya dengan air mata pertobatan (Ayb. 31:1). Untuk apa kita memiliki kelopak mata, kalau bukan untuk mengekang lirikan jahat dan menghindari penglihatan yang mencemari? Selain itu, kita juga dilarang menggunakan indra-indra lain untuk mengobarkan hawa nafsu. Jika melihat hal-hal yang menjerat merupakan buah terlarang, maka terlebih lagi percakapan cabul dan perilaku sembrono yang asusila, karena semuanya ini merupakan bahan bakar dan kipas bagi api neraka ini. Aturan-aturan ini merupakan pagar di sekeliling hukum kesucian hati (ay. 8). Jika pandangan dapat disebut nafsu, maka mereka yang berpakaian, berhias, dan mempertontonkan diri dengan tujuan agar dilihat dan diinginkan dengan penuh nafsu (seperti Izebel, yang mencalak matanya dan menghiasi kepalanya, lalu menjenguk dari jendela), juga sama bersalahnya. Manusia berbuat dosa, tetapi setan-setan mencobai agar manusia berbuat dosa.
2. Kita diajar bahwa penampilan dan perilaku asusila semacam itu begitu berbahaya serta merusak jiwa, hingga lebih baik kehilangan mata dan tangan yang melakukan kesalahan itu daripada memberi jalan kepada dosa dan binasa selamanya bersama mereka. Pelajaran ini diberikan kepada kita di sini (ay. 29-30). Tabiat manusia yang jahat akan segera melawan larangan terhadap perbuatan zinah di dalam hati itu, dengan beralasan bahwa mustahil perbuatan tersebut bisa dikuasai. “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya? Daging dan darah mau tidak mau ingin melihat dan menikmati perempuan cantik. Sungguh mustahil untuk menahan diri terhadap keinginan dan kenikmatan dari pandangan semacam ini.” Dalih-dalih seperti ini hampir tidak mungkin bisa diatasi oleh akal, dan oleh sebab itu harus dilawan dengan takut akan Tuhan, dan itulah yang diajarkan di sini:
(1) Tindakan yang diperintahkan di sini untuk dilakukan guna mencegah nafsu daging tersebut sangatlah berat. Jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, atau menyebabkan engkau tersesat, melalui perilaku atau tatapan mata sembrono yang asusila atas hal-hal terlarang; jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, atau menyebabkan engkau tersesat, melalui perilaku sembrono yang asusila; dan jika memang mustahil, seperti yang dinyatakan di sini, untuk mengendalikan mata dan tangan yang sudah begitu terbiasa melakukan hal-hal yang jahat ini sehingga tidak dapat dihentikan lagi; jika tidak ada jalan lain yang bisa mengendalikannya lagi (tetapi terpujilah Allah, karena oleh anugerah-Nya, ada jalan), maka lebih baik bagi kita untuk mencungkil saja mata dan memenggal tangan itu, meskipun mata kanan dan tangan kanan merupakan bagian tubuh yang lebih dihargai dan berguna. Ini lebih baik daripada membiarkan anggota tubuh itu terlibat dalam dosa yang membinasakan jiwa. Jika hal yang sangat mengejutkan ini harus dipatuhi, kita harus semakin bertekad untuk melatih tubuh dan menguasainya seluruhnya. Kita harus menjalani hidup yang mematikan kedagingan dan menyangkal diri, senantiasa menjaga hati, dan menekan nafsu jahat yang mulai timbul di dalamnya. Kita harus menghindari berbagai kesempatan yang mendatangkan dosa, melawannya segera bila mulai muncul, dan menjauhi teman-teman yang bisa menjadi jerat bagi kita, tidak peduli betapa menyenangkan godaan itu. Kita harus menyingkir dari jalan yang sesat, membatasi diri dengan melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum saat merasa tergoda, dan mencari anugerah Allah serta bergantung pada anugerah itu hari lepas hari. Dengan demikian kita dipimpin oleh Roh, agar kita tidak menuruti keinginan daging. Semua tindakan ini hasil dan gunanya sama seperti memenggal tangan yang kanan atau mencungkil mata yang kanan, dan mungkin juga dalam melawan kehendak daging dan darah. Ini adalah penghancuran manusia lama.
(2) Alasan yang digunakan sebagai dasar untuk menguatkan perintah ini sungguh mengejutkan (ay. 29), dan hal ini diulang lagi dengan kata-kata yang sama (ay. 30), sebab kita biasanya tidak suka mendengar hal-hal yang keras seperti ini (Yes. 30:10). Lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, sekalipun itu adalah mata atau tangan, karena kalau dipertahankan keadaannya malah akan semakin buruk, supaya seluruh tubuhmu tidak dicampakkan ke dalam neraka. Perhatikanlah:
[1] Bukanlah hal yang tidak pantas bagi seorang pemberita Injil untuk berkhotbah tentang neraka dan penghukuman. Tidak, ia justru harus melakukannya, sebab Kristus sendiri juga melakukannya. Kita bersikap tidak setia terhadap apa yang dipercayakan kepada kita, bila kita tidak memberikan peringatan tentang murka yang akan datang.
[2] Adakalanya kita perlu diselamatkan dari beberapa dosa melalui rasa takut, terutama keinginan daging yang sama tidak berakalnya seperti hewan, yang tidak dapat diredakan lagi kecuali dengan takut, yang tidak dapat dijauhkan dari pohon terlarang kecuali oleh kerub dengan pedang yang bernyala-nyala.
[3] Bila kita tergoda untuk berpikir bahwa sungguh sulit untuk menyangkal diri dan menyalibkan keinginan daging, maka sebaiknya kita berpikir-pikir bahwa jauh lebih berat lagi kalau kita harus tinggal selamanya dalam lautan api dan belerang. Orang-orang yang tidak tahu atau tidak percaya dengan neraka lebih suka menempuh bahaya menuju kebinasaan kekal dalam lautan api itu daripada menjauhkan diri dari pemuasan hawa nafsu kedagingan.
[4] Di neraka akan ada siksaan atas tubuh, seluruh tubuh dengan utuh akan dicampakkan ke dalam neraka, dan akan ada siksaan untuk setiap bagiannya. Jadi, bila kita peduli dengan tubuh kita sendiri, kita akan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan, dan bukan menuruti hawa nafsu.
[5] Bahkan kewajiban-kewajiban yang paling tidak menyenangkan bagi daging dan darah pun, ternyata menguntungkan bagi kita. Guru kita tidak menuntut apa pun dari kita selain apa yang Dia tahu akan menguntungkan diri kita.
3. Bila seorang laki-laki menceraikan istrinya karena sudah tidak menyukainya lagi atau karena alasan apa saja kecuali perbuatan zinah, ini merupakan pelanggaran terhadap perintah ketujuh – meskipun perceraian demikian sudah sangat diizinkan dan biasa dilakukan di kalangan orang Yahudi – sebab perceraian tersebut membuka pintu bagi perzinahan (ay. 31-32). Di sini kita perhatikan:
(1) Bagaimana kaitan masalah ini dengan perceraian. Telah difirmankan (Kristus tidak berkata seperti semula, “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita,” sebab ini bukanlah sebuah peraturan seperti perintah-perintah lainnya, sekalipun orang Farisi memahaminya demikian [19:7], melainkan hanyalah suatu izin), “Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya, jangan biarkan dia melakukannya secara lisan ketika ia sedang bernafsu, tetapi biarlah ia melakukannya dengan sengaja, melalui sarana tertulis yang sah, dan ditegaskan oleh beberapa saksi. Bila ia hendak membubarkan ikatan pernikahan itu, biarlah ia melakukannya dengan sungguh.” Dengan demikian hukum Taurat telah mencegah terjadinya perceraian yang gegabah dan terburu-buru. Mungkin juga, pada mulanya ketika catatan tertulis belum begitu umum bagi orang Yahudi, hal ini menyebabkan perceraian jarang terjadi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, hal ini menjadi sangat umum. Petunjuk mengenai cara melaksanakannya pada saat ada alasan yang dianggap tepat kemudian ditafsirkan sebagai izin dengan alasan apa saja (19:3).
(2) Bagaimana perkara ini diralat dan diubah oleh Juruselamat kita. Ia mengembalikan peraturan pernikahan sesuai dengan tujuannya yang mula-mula, “Keduanya itu akan menjadi satu daging,” tidak mudah dipisahkan, dan oleh sebab itu perceraian tidak diperbolehkan, kecuali terjadi perzinahan yang merusak perjanjian pernikahan itu. Tetapi orang yang menyingkirkan istrinya karena alasan lain, menjadikan isterinya berzinah, demikian pula orang yang akan menikahinya setelah perempuan itu diceraikan seperti itu. Perhatikanlah, orang-orang yang membawa orang lain ke dalam pencobaan hingga berbuat dosa, atau meninggalkan mereka di dalamnya, atau memasukkan mereka ke dalam perbuatan dosa, membuat diri mereka sendiri bersalah karena dosa mereka itu, dan mereka harus bertanggung jawab atasnya. Inilah yang antara lain disebut sebagai bergaul dengan orang berzinah (Mzm. 50:18).
33 “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. 34 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, 35 maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; 36 janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun. 37 Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”
Di sini diuraikan tentang perintah ketiga, yang semakin perlu kita pahami, terutama karena perintah ini mengatakan bahwa Tuhan akan memandang bersalah orang yang melanggar perintah ini, sekalipun dia memandang dirinya tidak bersalah, yaitu bila orang tersebut me-nyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Berkaitan dengan perintah ini:
I. Telah disepakati oleh semua pihak bahwa orang dilarang bersumpah palsu, makan sumpah, dan melanggar sumpah serta janji (ay. 33). Hal ini dikatakan kepada nenek moyang mereka, dan ini adalah tujuan serta makna sebenarnya dari perintah ketiga itu. Janganlah engkau menggunakan atau menyebut nama Tuhan (seperti yang kita lakukan saat mengangkat sumpah) dengan sembarangan, atau untuk maksud yang sia-sia, atau berdusta. Dia yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, diperjelaskan dalam kata-kata berikutnya, yang tidak bersumpah palsu (Mzm. 24:4). Bersumpah palsu adalah dosa yang dihukum sesuai hukum alam, karena dilakukan ketidaksalehan terhadap Allah dan ketidakadilan terhadap manusia. Selain itu, dosa ini juga sangat mendatangkan murka Allah bagi orang yang bersangkutan, dan murka Allah ini akan selalu mengikuti dosa itu sedemikan rupa sehingga segala sumpah yang dibuat itu biasanya akan berubah menjadi umpatan atau kutuk. Mengenai hal ini, beginilah kiranya Allah menghukum aku, bahkan lebih lagi daripada itu, dan mengenai kami, tolonglah aku, ya Tuhan; lebih baik aku tidak pernah mendapatkan pertolongan dari Allah lagi jika aku bersumpah palsu. Demikianlah, dengan persetujuan segala bangsa, manusia telah mengutuk diri mereka sendiri, dan mereka juga tidak ragu bahwa Allah akan mengutuk mereka jika mereka berdusta terhadap kebenaran dan memanggil Allah untuk menjadi saksi.
Kemudian, dari ayat-ayat lain ditambahkan juga kata-kata, “melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan” (Bil. 30:2), yang dapat berarti:
1. Janji-janji yang melibatkan Allah dan ditujukan kepada Allah harus ditepati (Pkh. 5:4-5), atau
2. Janji-janji yang dibuat kepada saudara-saudara kita, dengan Allah sebagai Saksi, dimaksudkan bahwa Dia dipanggil untuk menyatakan bahwa kita bersungguh-sungguh dengan janji itu. Hal-hal ini harus dilakukan bagi Tuhan dengan mata yang tertuju kepada-Nya dan demi kepentingan-Nya. Sebab bagi Dia, dengan mengesahkan janji-janji dalam bentuk sumpah, kita telah membuat diri kita menjadi orang yang berutang. Bila kita melanggar janji yang telah disahkan seperti itu, kita bukan hanya mendustai manusia, tetapi mendustai Allah.
II. Di sini ditambahkan bahwa perintah itu bukan saja melarang sumpah palsu, tetapi juga semua sumpah yang gegabah dan tidak perlu, Janganlah sekali-kali bersumpah (ay. 34; bdk. Yak. 5:12). Ini bukan berarti bahwa semua sumpah adalah dosa. Jika sumpah dilakukan dengan benar, itu juga termasuk bagian dari ibadah, dan di dalamnya kita memberi kepada Tuhan kemuliaan nama-Nya (Ul. 6:13; 10:20; Yes. 45:23; Yer. 4:2). Kita tahu Paulus menegaskan perkataannya dengan sungguh-sungguh melalui cara-cara demikian (2Kor. 1:23), ketika cara-cara tersebut memang diperlukan. Dalam mengucapkan sumpah, kita menjamin kebenaran suatu hal yang telah dikenal, atau menegaskan kebenaran dari suatu hal yang meragukan atau tidak diketahui. Dengan membuat sumpah, kita sedang menantang dilakukannya suatu pembuktian yang lebih tinggi, berseru kepada suatu mahkamah yang lebih tinggi, dan mengharapkan pembalasan dari seorang Hakim yang adil, jika kita bersumpah palsu.
Sekarang, pemikiran Kristus mengenai masalah sumpah ini adalah:
1. Agar kita jangan sekali-kali bersumpah. Namun, bila kita memang harus melakukannya demi keadilan atau kebaikan terhadap saudara kita, atau demi menghormati pemerintah, buatlah seperlunya untuk mengakhiri segala bantahan (Ibr. 6:16), dan untuk keperluan ini, pada umumnya pejabat sipillah yang bertindak sebagai hakim. Kita boleh saja diambil sumpah kita, terpaksa mengucapkan sumpah, diminta dengan sangat sehingga berkewajiban melakukannya, tetapi janganlah kita melakukannya demi mencari keuntungan duniawi bagi diri kita sendiri.
2. Agar kita tidak begitu saja bersumpah dengan seenaknya ketika sedang bercakap-cakap. Kalau kita melakukannya, ini sungguh merupakan suatu dosa yang besar, karena kita menaikkan seruan-seruan yang tidak pada tempatnya pada sorga yang mulia, yang adalah suci adanya dan yang seharusnya diperlakukan dengan sungguh. Perilaku ini merupakan pelecehan besar terhadap nama Allah yang suci, dan terhadap salah satu hal suci yang sangat dihormati oleh umat Israel. Ini adalah dosa yang tidak dapat ditutupi, tidak dapat diberikan dalih, dan oleh sebab itu merupakan tanda bahwa orang yang melakukan hal demikian mempunyai hati yang jahat, yang di dalamnya berkuasa rasa permusuhan terhadap Allah. Orang fasik menyebut nama-Mu dengan sia-sia.
3. Agar kita teristimewa menghindari membuat sumpah yang berisi janji untuk melakukan sesuatu, yang secara khusus dibicarakan oleh Kristus di sini, sebab sumpah yang demikian merupakan janji yang harus dipenuhi. Suatu sumpah yang sifatnya hanya untuk menegaskan sesuatu, pengaruhnya akan langsung berhenti pada saat kita berhasil mengungkapkan kebenarannya, seluruh kebenarannya; namun sumpah yang menjanjikan sesuatu sifatnya mengikat untuk jangka waktu yang lama, sehingga bisa saja dilanggar dengan berbagai cara, baik karena dorongan maupun desakan suatu godaan. Karena itu, sumpah yang demikian janganlah digunakan kecuali kalau sangat diperlukan. Persyaratan penggunaan sumpah menjadi cerminan bagi orang Kristen, di mana mereka seharusnya diakui karena kesetiaannya, perkataan mereka yang bijaksana harus sama kudusnya dengan sumpah yang mereka ucapkan dengan sepenuh hati.
4. Agar kita tidak bersumpah demi ciptaan mana pun. Tampaknya ada sebagian orang yang karena rasa hormat (menurut pikiran mereka) terhadap nama Allah, tidak mau menggunakan nama tersebut dalam bersumpah, dan sebagai gantinya mereka bersumpah saja demi langit atau bumi dan sebagainya. Hal ini juga dilarang Kristus di sini (ay. 34). Ia menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu apa pun yang boleh kita gunakan untuk bersumpah, karena semua ciptaan ini, dalam satu dan lain cara, ada kaitannya dengan Allah, yang adalah Sumber segala yang ada. Itulah sebabnya bersumpah demi segala hal tadi sama berbahayanya dengan bersumpah demi Allah sendiri, karena kebenaran ciptaan itu sendirilah yang dipertaruhkan. Jadi, cara ini bukan merupakan suatu sarana kesaksian, karena ia berurusan dengan Allah, yang adalah summum verum – Kebenaran yang utama. Sebagai contoh:
(1) Janganlah sekali-kali bersumpah demi langit, “Sepasti adanya langit, sepasti itu juga kebenaran yang kukatakan.” Alasan larangan ini adalah karena langit adalah takhta Allah, tempat Ia tinggal dan menyatakan kemuliaan-Nya secara khusus, sebagai Raja yang duduk di takhta-Nya. Ini adalah martabat sorga yang tidak bisa dipisahkan, engkau tidak dapat bersumpah demi langit tanpa bersumpah demi Allah sendiri.
(2) Maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya. Allah menguasai semua pergerakan dari dunia bawah ini. Sama seperti Dia memerintah di sorga, demikian pula Dia memerintah atas bumi ini, yang meskipun berada di bawah kaki-Nya, juga berada di bawah perhatian dan pemeliharaan-Nya serta berkaitan dengan Dia sebagai milik kepunyaan-Nya (Mzm. 24:1). Tuhanlah yang empunya bumi, jadi dengan bersumpah demi bumi, Anda bersumpah demi Pemiliknya juga.
(3) Ataupun demi Yerusalem, tempat yang begitu dipuja orang Yahudi, hingga tidak ada tempat kudus lainnya lagi yang dapat mereka pakai untuk bersumpah. Secara umum Yerusalem memang berkaitan dengan Allah, yaitu sebagai bagian dari bumi, namun, selain itu, kota ini juga memiliki hubungan khusus dengan diri-Nya, karena ia adalah kota Raja Besar (Mzm. 48:3), kota Allah (Mzm. 46:5). Oleh karena itu, Allah turut berkepentingan dengan Yerusalem dan dengan setiap sumpah yang dibuat demi namanya.
(4) “Janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu. Sekalipun kepala itu melekat dan menjadi bagian penting dari dirimu, Allah tetap lebih berhak memilikinya daripada engkau. Sebab Dialah yang menciptakannya dan membentuk setiap bagian dan kekuatannya, sedangkan engkau sendiri, dengan kekuatan alami yang ada pada dirimu engkau tidak mampu mengubah warna, walau hanya sehelai rambut pun, untuk membuatnya putih atau hitam. Jadi engkau tidak boleh bersumpah demi kepalamu, tetapi bersumpahlah demi Dia yang adalah Kekuatanmu dan yang mengangkat kepalamu” (Mzm. 3:4).
(5) Agar dengan demikian, dalam seluruh percakapan, kita harus cukup puas dengan berkata, “Ya,” jika ya dan berkata “Tidak,” jika tidak (ay. 37). Dalam percakapan biasa, saat menegaskan sesuatu, hendaklah kita hanya berkata, “Ya,” kalau memang demikian halnya. Bila perlu, untuk membuktikan keyakinan kita terhadap sesuatu, kita boleh melipatgandakannya dan berkata, “Ya, benar, sungguh demikianlah halnya.” Juruselamat kita menggunakan istilah, “Sesungguhnya,” sebagai pengganti kata ya. Jadi, jika kita menyangkali sesuatu, sudah cukup untuk berkata, “Tidak,” atau bila perlu, mengulangi penyangkalan itu dan berkata, “Tidak, tidak,” dan bila kejujuran kita telah dikenal orang, hal itu saja sudah cukup bagi kita dalam mendapatkan penghargaan dari orang lain. Seandainya perkataan kita dipertanyakan, maka mendukung pernyataan kita dengan bersumpah dan mengutuk hanyalah akan membuat masalah semakin mencurigakan. Orang yang mampu membuat sumpah yang sia-sia juga tidak sulit untuk berdusta. Patut disayangkan bila apa yang disampaikan Kristus kepada semua murid-Nya untuk mereka beritakan ini masih dilekatkan suatu sekte yang memiliki berbagai kekeliruan, sementara (seperti yang dikatakan Dr. Hammond) kita tidak dilarang mengatakan sesuatu di luar ya dan tidak, asalkan dengan cara yang sesuai penggunaannya.
Alasannya dapat dilihat, Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat, walau ini tidak berarti kesalahan dari sebuah sumpah. Menurut uraian zaman dahulu, sumpah berasal ek tou Diabolou atau berasal dari Iblis, si jahat. Sumpah timbul sebagai akibat dari rusaknya sifat manusia, dari nafsu dan hawa nafsu berapi-api, dari kesia-siaan yang menguasai pikiran, dan dari kebencian terhadap hal-hal yang kudus. Ia berasal dari tipu daya yang ada dalam diri manusia, Semua manusia pembohong. Oleh sebab itu manusia menggunakan pernyataan-pernyataan untuk meneguhkan sesuatu seperti ini, sebab mereka saling tidak percaya dan beranggapan bahwa mereka tidak akan dipercaya jika tanpa bersumpah. Perhatikanlah, demi nama baik agama mereka, orang Kristen bukan saja harus menghindari hal-hal yang memang jahat, melainkan juga yang berasal dari si jahat dan yang menyerupainya. Hal-hal yang berasal dari maksud yang jahat dapat dicurigai sebagai hal yang jahat. Sumpah itu bagaikan obat, yang menunjukkan adanya penyakit.
38 “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. 39 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. 40 Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. 41 Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. 42 Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.”
Melalui ayat-ayat inilah hukum balasan setimpal dijelaskan secara terperinci sekaligus dicabut. Perhatikanlah:
I. Seperti apa kelonggaran Perjanjian Lama sebenarnya dalam keadaan orang mengalami kerugian. Di sini yang Yesus katakan hanyalah, “Kamu telah mendengar firman,” dan tidak, “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada atau yang dikatakan oleh nenek moyang kita,” seperti pada ayat-ayat sebelumnya yang menyangkut perintah-perintah dalam Kesepuluh Hukum. Hukum balas dendam bukanlah hukum yang selalu harus dilaksanakan oleh setiap orang. Kalau mereka memang menghendaki, mereka akan menuntut pembalasan itu secara hukum: mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Kita menemukan hal ini dalam Keluaran 21:24, Imamat 24:20, dan Ulangan 19:21. Dalam semua ayat tersebut, pelaksananya adalah pejabat yang bertindak sebagai hakim dan tidak percuma menyandang pedang, tetapi yang adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah (Rm. 13:4). Hukum tersebut memberikan petunjuk kepada para hakim bangsa Yahudi mengenai hukuman apa yang harus ditimpakan dalam kasus-kasus yang menyebabkan cacat fisik. Sebab di pihak orang yang berbuat jahat, hukuman ini dapat menimbulkan ketakutan, sedangkan di pihak yang dirugikan karena kejahatan tadi, petunjuk ini dapat mengendalikan mereka agar tidak menuntut hukuman yang lebih berat daripada yang semestinya. Bukanlah nyawa ganti mata atau anggota badan ganti gigi, melainkan apa yang adil dan sebanding. Petunjuk ini juga mengisyaratkan (Bil. 35:31) bahwa penghilangan bagian tubuh dalam perkara seperti ini bisa digantikan dengan uang. Walaupun telah ditetapkan bahwa orang tidak boleh mengganti nyawa seorang pembunuh dengan menerima uang pendamaian, maka orang beranggapan bahwa dalam kasus cacat anggota tubuh, denda berupa uang bisa diperbolehkan sebagai gantinya.
Namun, sebagian guru-guru Yahudi, yang tidak terhitung sebagai orang-orang yang sangat berbelas kasihan, bersikeras bahwa pembalasan setimpal itu perlu dilaksanakan, bahkan oleh perorangan sekalipun. Bagi mereka, tidak ada tempat bagi pengampunan atau ganti rugi. Bahkan sampai saat mereka berada di bawah pemerintahan peradilan Romawi pun, di mana dengan sendirinya hukum pengadilan mereka tidak berlaku lagi, mereka tetap saja menginginkan hal yang tampak kasar dan bengis.
Nah, sejauh ini, hukum tersebut juga berlaku bagi kita, yakni sebagai petunjuk bagi para hakim, supaya mereka menggunakan pedang keadilan sesuai dengan hukum yang baik dan yang menyejahterakan, demi membuat takut para pelaku kejahatan dan memulihkan nama baik korban, tidak seperti hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun, yang tidak mau membela janda miskin terhadap lawannya (Luk. 18:2-3). Hukum tersebut juga berlaku bagi para pembuat hukum, supaya mereka menetapkan hukuman-hukuman yang adil dan setimpal bagi setiap kejahatan, untuk mencegah perampokan dan tindak kekerasan dan untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah.
II. Seperti apa perintah Perjanjian Baru itu sebenarnya, yaitu bagi si penuntut itu sendiri. Kewajiban si penuntut ini adalah bahwa dia harus mengampuni kesalahan yang telah dilakukan terhadap dirinya dan tidak lagi bersikeras menuntut hukuman yang melebihi apa yang baik bagi kepentingan umum. Perintah ini sejalan dengan kelemahlembutan Kristus dan kuk-Nya yang ringan itu.
Di sini Kristus mengajarkan dua hal kepada kita:
1. Kita tidak boleh membalas dendam (ay. 39). Aku berkata kepadamu, “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, – orang jahat yang melukaimu.” Di sini, tindakan melawan orang yang berbuat jahat terhadap kita dilarang secara umum dan tegas, seperti halnya dengan tindakan melawan pemerintah (Rm. 13:2). Namun, hal ini bukan berarti mencabut hukum mengenai perlindungan diri sendiri dan pemeliharaan kita terhadap keluarga. Kita boleh menghindari kejahatan dan melawannya sejauh ini memang perlu bagi keamanan kita sendiri, tetapi kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, menyimpan dendam, membalas dendam, ataupun berlaku sama seperti mereka yang telah bertindak jahat terhadap kita. Sebaliknya, kita harus melakukan hal yang jauh melebihi mereka dengan cara mengampuni mereka (Ams. 20:22; 24:29; 25:21-22; Rm. 12:7). Hukum pembalasan setimpal haruslah dibuat supaya sesuai dengan hukum kasih. Jika ada orang yang melukai kita, maka menuntut ganti rugi bukanlah hak kita melainkan hak Allah, dan kepada-Nya-lah kita harus menyerahkan murka itu. Adakalanya ini juga menjadi hak para wakil-Nya, jika ini memang diperlukan demi memelihara ketenteraman umum. Tidaklah benar kalau kita menyakiti saudara kita dengan alasan bahwa dialah yang memulai terlebih dulu, sebab biasanya pukulan kedualah yang menimbulkan pertengkaran. Saat kita dilukai, kita mempunyai kesempatan bukan untuk tidak membenarkan perbuatan kita dengan balas melukai, sebaliknya menunjukkan bahwa kita ini sungguh-sungguh murid Kristus yang sejati dengan cara mengampuninya.
Ada tiga hal yang disebut secara khusus oleh Juruselamat kita untuk menunjukkan bahwa orang Kristen harus bersikap sabar terhadap orang-orang yang menyakiti mereka, dan bukan menentang, dan hal-hal ini mencakup beberapa hal lain lagi.
(1) Tamparan di pipi yang menyebabkan luka bagi tubuhku, “Siapa pun yang menampar pipi kananmu.” Ini bukan saja menimbulkan rasa sakit, namun juga penghinaan dan pelecehan (2Kor. 11:20); akan tetapi jika seseorang dalam amarahnya merendahkan dan menyakitimu, “berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Artinya, jangan membalas luka itu, tetapi sebaliknya, bersiaplah untuk menerima tamparan berikutnya lagi dan tanggunglah semuanya itu dengan sabar. Jangan membalas perbuatan orang kasar itu dengan setimpal, jangan menantangnya, atau bertindak melawannya. Bila diperlukan demi ketenteraman umum, serahkan perkara itu kepada pihak yang berwewenang supaya dia bisa berkelakuan baik. Namun, bagimu sendiri, biasanya akan lebih bijaksana untuk mengabaikannya dan tidak mempermasalahkannya lagi. Lagi pula, tidak ada tulang yang patah, tidak banyak kerugian yang ditimbulkan, jadi ampuni dan lupakan. Jika orang-orang bodoh yang sombong mengira-ngira yang buruk mengenai engkau dan menertawakanmu, semua orang bijaksana akan menghargai dan menghormatimu sebagai pengikut Yesus yang, meskipun sebagai Hakim atas Israel, tidak menampar orang-orang yang menampar pipi-Nya (Mi. 5:1). Walaupun mungkin saja hal ini bisa menyebabkan kita dihina kembali di kemudian hari, dan kita harus memberikan pipi kiri lagi, janganlah ini sampai mengganggu kita, tetapi marilah kita mempercayai Allah dan pemeliharaan-Nya untuk melindungi kita sementara kita melakukan kewajiban kita. Siapa tahu pengampunan terhadap suatu perlakuan buruk dapat mencegah terjadinya perlakuan lain, sedangkan membalas dendam bisa saja memicu perlakuan buruk berikutnya. Ada beberapa perlakuan yang bisa diatasi melalui penyerahan diri, sementara perlawanan hanya akan memperparah keadaan (Ams. 25:22). Walaupun begitu, penggantian kerugian kita ada di tangan Kristus yang akan membalas kita dengan kemuliaan kekal atas rasa malu yang kita tanggung dengan sabar. Meskipun hal ini tidak langsung diberikan, jika semua ini ditanggung demi memelihara hati nurani dan sesuai dengan teladan yang diberikan Kristus, maka ini akan diperhitungkan sebagai penderitaan demi Kristus.
(2) Kehilangan jubah, yang merupakan kerugian bagi harta saya (ay. 40). Kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Ini perkara yang tidak mudah. Perhatikanlah, bukan hal aneh lagi bila penanganan hukum dimanfaatkan untuk menimbulkan kerugian yang sangat besar. Walaupun para hakim berlaku adil dan sangat berhati-hati sekalipun, masih saja ada kemungkinan bagi orang jahat yang tidak mengacuhkan sumpah dan mudah melakukan pemalsuan, untuk merampas jubah seseorang melalui jalan hukum. Janganlah heran akan perkara itu (Pkh. 5:7), tetapi bila mengalami kejadian seperti itu, daripada menggunakan hukum guna membalas dendam, daripada mengajukan surat permohonan atau mati-matian mempertahankan perkaramu yang sungguh-sungguh benar itu, biarlah orang itu juga mengambil jubahmu sekalian. Jika persoalannya kecil hingga bisa kita abaikan tanpa menimbulkan kerugian berarti bagi keluarga kita, adalah baik untuk mengalah demi perdamaian. “Dengan membeli sehelai jubah baru, kau tidak akan mengeluarkan uang sebanyak ongkos yang diperlukan bila mengambil jalan hukum untuk membereskan perkara itu. Oleh sebab itu, jika engkau tidak dapat memperoleh jubah itu kembali dengan cara-cara yang adil, lebih baik biarkan dia mengambilnya saja.”
(3) Dipaksa berjalan satu mil, yang bagi saya bisa mengganggu kebebasan (ay. 41). “Siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, atau untuk pergi melaksanakan keperluan untuknya, atau untuk melayaninya, janganlah mengeluh, melainkan berjalanlah bersama dia sejauh dua mil dan bukannya bertengkar dengan dia.” Janganlah berkata, “Aku akan melakukannya bila tidak dipaksa, karena aku tidak suka dipaksa.” Lebih baik berkata, “Aku akan melakukannya, sebab bila tidak, akan timbul pertengkaran.” Lebih baik melayani dia daripada melayani nafsu kesombongan dan balas dendam diri sendiri. Ada yang menguraikannya sebagai berikut: Orang Yahudi mengajarkan bahwa, tidak seperti orang-orang lain pada umumnya, murid-murid orang bijak dan murid-murid hukum tidak boleh ditekan oleh para pejabat raja untuk mengadakan perjalanan yang merupakan pelayanan umum itu. Namun, Kristus tidak mau murid-murid-Nya menuntut hak istimewa ini juga. Ia ingin mereka patuh dan bukan melawan pemerintah. Kesimpulan dari semua ini adalah bahwa orang Kristen tidak boleh gemar mengajukan tuntutan hukum. Mereka harus mengalah terhadap kerugian kecil dan tidak mempermasalahkannya. Jika kerugian yang ditimbulkan menyebabkan kita terpaksa mengadakan perbaikan, hal ini haruslah demi penyelesaian yang baik, bukan untuk membalas dendam. Meskipun kita tidak boleh mencari masalah, kita harus menyambutnya dengan ceria di tengah kewajiban kita dan berusaha menanganinya sebaik-baiknya. Bila ada yang berkata, “Daging dan darah tidak akan sanggup mengabaikan penghinaan begitu saja,” biarlah mereka mengingat bahwa daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.
2. Kita harus bersikap dermawan dan murah hati (ay. 42), bukan saja tidak boleh menyakiti sesama, malah sebaliknya, kita harus berusaha sedapat mungkin untuk berbuat baik kepada mereka.
(1) Kita harus siap memberi, “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu. Bila engkau memiliki kemampuan, anggaplah permintaan orang miskin sebagai kesempatan untuk memberikan derma.” Saat seseorang yang benar-benar patut menerima derma muncul, kita harus bersedia memberi pada kesempatan pertama. Berikanlah bagian kepada tujuh, bahkan kepada delapan orang. Namun, perbuatan dermawan kita haruslah dilakukan dengan sewajarnya (Mzm. 112:5), supaya jangan kita memberikannya kepada orang yang malas dan tidak layak menerimanya. Kita harus memberikannya kepada orang-orang yang membutuhkannya dan memang layak menerimanya. Apa yang dikatakan Allah kepada kita harus kita sampaikan juga kepada sesama kita yang miskin, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu.”
(2) Kita harus siap memberikan pinjaman. Adakalanya hal ini hampir sama dermawannya dengan memberi, karena tindakan ini bukan saja meringankan keadaan darurat saat itu, tetapi juga menuntun si peminjam kepada pengelolaan yang lebih baik, ketekunan yang berdedikasi, dan kejujuran. Oleh sebab itu, “Mengenai orang yang mau meminjam sesuatu dari padamu agar bisa hidup atau untuk berdagang, janganlah menolaknya. Janganlah kautolak orang-orang yang kauketahui mempunyai permintaan seperti itu kepadamu, dan jangan mengarang alasan untuk mengusir mereka.” Jadilah orang yang mudah ditemui oleh dia yang mau meminjam walaupun ia merasa malu dan kurang percaya diri untuk menyampaikan masalahnya dan meminta pertolongan. Engkau mengetahui baik kebutuhan maupun keinginannya, dan oleh karenanya, tawarkan kebaikan kepadanya. Exorabor antequam rogor; honestis precibus occuram – aku akan dibujuk sebelum diminta, aku akan bersiap-siap menyambut permohonan yang akan datang (Seneca, dalam De Vitâ Beatâ). Oleh karena itu, kita harus siap siaga dalam berbuat baik, sebab sebelum kita berseru, Allah sudah mendengar kita dan menyambut kita dengan berkat melimpah.
43 “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. 44 Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. 45 Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. 46 Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? 47 Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? 48 Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Akhirnya kita melihat juga di sini uraian mengenai hukum yang sangat mendasar dari loh batu kedua, Kasihilah sesamamu manusia, yang menggenapi hukum Taurat.
I. Lihatlah di sini betapa hukum ini telah dirusak oleh berbagai tafsiran dari para guru Yahudi (ay. 43). Allah berkata, “Kasihilah sesamamu manusia,” dan menurut pengertian mereka, sesamamu manusia hanyalah mereka yang senegeri, sebangsa, dan seagama semata, dan hanya orang-orang yang berkenan mereka terima sebagai teman. Namun, ini bukanlah yang terburuk. Malah lebih dari itu, dari perintah “Kasihilah sesamamu manusia,” mereka begitu saja mengambil kesimpulan yang tidak pernah dirancang Allah yaitu, “Bencilah musuhmu.” Dengan seenaknya mereka memandang seseorang sebagai musuh mereka, sehingga dengan demikian membatalkan perintah Allah dengan adat istiadat mereka itu, meskipun berlawanan dengan hukum-hukum yang ada (Kel. 23:4-5; Ul. 23:7). Janganlah engkau menganggap keji orang Edom atau orang Mesir, meskipun bangsa-bangsa ini telah menjadi musuh besar yang pernah ada bagi orang Israel. Memang benar bahwa Allah telah menyuruh mereka membinasakan ketu-juh bangsa di Kanaan yang tidak bersekutu dengan mereka, namun ada alasan khusus untuk itu – yaitu untuk menyediakan tempat bagi bangsa Israel dan supaya bangsa-bangsa itu tidak menjadi perangkap bagi mereka. Namun, sungguh merupakan sifat yang jahat bila karena itu mereka lalu menarik kesimpulan bahwa mereka harus membenci semua musuh mereka. Namun, falsafah moral orang-orang yang belum mengenal Allah pada masa itu memang mengizinkan hal ini. Menurut kaidah Cicero, Nemini nocere nisi prius lacessitum injuriâ – Jangan menyakiti siapa pun, kecuali disakiti terlebih dahulu (De Offic). Lihatlah betapa mudahnya nafsu jahat merusak sifat dari firman Allah, dan memanfaatkan perintah itu untuk mengesahkan kebenaran nafsu itu sendiri.
II. Lihatlah bagaimana hal ini diluruskan oleh perintah Tuhan Yesus yang memberikan pelajaran lain kepada kita, “Tetapi Aku berkata kepadamu, Aku, yang telah datang untuk menjadi Jurudamai agung, Sang Pendamai akbar, yang mengasihi engkau ketika engkau masih menjadi orang asing dan musuh, Aku berkata, Kasihilah musuhmu” (ay. 44). Walaupun manusia sangat jahat dan melampiaskannya kepada kita, hal ini tidak membebaskan kita dari utang kita kepada mereka, yaitu untuk mengasihi sesama dan sanak saudara kita. Memang kita ini cenderung untuk mengharapkan celaka, atau setidaknya sama sekali tidak menginginkan yang baik, bagi orang-orang yang membenci kita dan yang telah menyakiti kita. Namun, di dasar sikap ini terdapat suatu akar kepahitan yang harus dicabut. Di dalamnya ada sisa-sisa watak rusak yang harus ditundukkan oleh anugerah. Perhatikanlah, sudah merupakan tugas utama bagi orang Kristen untuk mengasihi musuh-musuh mereka. Memang kita tidak bisa memperoleh keuntungan dari seseorang yang jelas-jelas jahat dan duniawi, atau mempercayai orang yang kita ketahui suka menipu. Kita memang tidak mencintai orang-orang yang seperti ini. Namun, kita harus menghormati sifat manusia, dan karena itu menghormati juga semua orang. Kita harus, dengan senang hati, memperhatikan sikap-sikap ramah dan patut dipuji, bahkan di dalam diri musuh-musuh kita sekalipun, seperti kejujuran, ketenangan, mau belajar, kebajikan moral, baik terhadap orang lain, mengakui agama, dan sebagainya. Kita harus mencintai sikap-sikap seperti ini meskipun mereka adalah musuh kita. Kita harus memiliki belas kasihan dan niat baik terhadap mereka. Di sini diberitahukan kepada kita:
1. Bahwa kita harus berkata baik tentang mereka, “Berkatilah mereka yang mengutuk kamu.” Saat berbicara dengan mereka, kita harus menanggapi cercaan mereka dengan kata-kata yang sopan dan ramah, bukan membalas cerca dengan cerca. Di balik punggung mereka, kita harus memuji hal-hal di dalam diri mereka yang memang patut dipuji, dan setelah menyampaikan segala hal yang baik yang ada pada mereka, janganlah kita mengata-ngatai mereka lagi (1Ptr. 3:9). Mereka yang di dalam lidahnya ada hukum kebaikan, dapat menyampaikan kata-kata yang baik kepada orang-orang yang melontarkan kata-kata jahat kepada mereka.
2. Bahwa kita harus berbuat baik kepada mereka, “Berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu, dan ini akan menjadi suatu bukti kasih yang lebih baik lagi daripada sekadar kata-kata yang baik. Siap sedialah untuk berbuat baik kepada mereka semampumu, dan bergembiralah bila mendapat kesempatan untuk melakukannya, terhadap tubuh jasmani, harta, nama baik, keluarga, dan terutama bagi jiwa mereka.” Ada cerita mengenai Uskup Agung Cranmer bahwa kalau ada orang yang mau membuat dia menjadi temannya, maka lakukanlah hal-hal yang jahat kepada dia karena sang Uskup dikenal sudah begitu banyak melayani orang-orang yang justru telah menyakitinya.
3. Bahwa kita harus berdoa bagi mereka, “Berdoalah bagi mereka yang mencaci kamu dan menganiaya kamu.” Perhatikanlah:
(1) Bukanlah cerita baru lagi bahwa orang-orang kudus yang terbaik pun dibenci, dikutuki, dianiaya, dan dicaci maki oleh orang-orang jahat. Kristus sendiri pun diperlakukan seperti itu.
(2) Setiap kali menghadapi perlakuan seperti ini, kita memperoleh kesempatan untuk menunjukkan ketaatan kita terhadap perintah dan teladan Kristus, dengan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Kalau tidak ada cara lain lagi yang dapat kita pakai untuk menyaksikan kasih kita kepada mereka, maka doa merupakan jalan yang dapat kita lakukan dengan diam-diam, dan pasti dengan cara ini kita tidak perlu berpura-pura. Kita harus berdoa agar Allah mau mengampuni mereka, supaya mereka tidak harus mengalami pembalasan terburuk atas setiap perlakuan mereka terhadap kita, dan supaya Ia memperdamaikan mereka dengan kita. Doa adalah salah satu cara untuk membuat mereka demikian. Plutarch (penulis dari Yunani pada abad pertama sm), dalam bukunya Laconic Apophthegm, menceritakan tokoh Aristo sebagai orang yang demikian. Dalam cerita ini, ketika seseorang memuji ucapan Cleomenes yang menjawab pertanyaan apa yang harus diperbuat seorang raja yang baik dengan jawaban, “Tous men philous euergetein, tous de echthrous kakos poeien” – membalas yang baik kepada teman-temannya dan membalas yang jahat kepada musuh-musuhnya, Aristo berkata, “jauh lebih baik bila tous men philous euergetein, tous de echthrous philous poeien” – berbuat baik kepada teman-teman kita dan bersahabat dengan musuh-musuh kita. Ini sama dengan menimbun bara api di atas kepala mereka.
Di sini diberikan dua alasan untuk memperkuat perintah (yang terdengar sangat keras) mengenai mengasihi musuh ini. Kita harus melakukannya:
[1] Supaya kita menjadi sama seperti Allah Bapa kita; “supaya kamu dapat menjadi, dapat membuktikan dirimu sendiri adalah, anak-anak Bapamu yang di sorga.” Dapatkah kita meneladani-Nya dengan lebih baik? Kita dapat melakukannya dengan mengasihi musuh-musuh kita, di mana kejahatan mereka diperdamaikan dan disesuaikan dengan kemurnian dan kekudusan yang tidak terbatas. Allah menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar (ay. 45). Perhatikanlah, pertama, sinar matahari dan hujan adalah berkat yang sangat besar bagi dunia, dan mereka berasal dari Allah. Matahari yang bersinar itu adalah milik-Nya, dan hujan itu dikirim oleh-Nya. Keduanya tentu saja tidak hadir begitu saja secara kebetulan, tetapi datang dari Allah. Kedua, berbagai rahmat umum yang kita terima harus dihargai sebagai contoh dan bukti kebaikan Allah, yang melalui semuanya ini menyatakan diri-Nya sendiri sebagai Allah Sang Pemberi Kebaikan, yang memberikan dengan berlimpah-limpah kepada umat manusia, yang akan sangat menderita sengsara tanpa kemurahan-kemurahan ini, dan yang akan tidak berdaya sama sekali tanpa berkat-berkat tersebut, sekecil apa pun berkat itu. Ketiga, karunia pemeliharaan yang umum ini diberikan tanpa membeda-bedakan orang baik dan jahat, orang yang benar dan orang yang tidak benar. Dengan demikian, kita tidak bisa mengetahui kasih dan kebencian melalui apa yang ada di hadapan kita, melainkan melalui apa yang ada di dalam diri kita; bukan melalui cahaya matahari yang bersinar di atas kepala kita, melainkan melalui terbitnya Surya Kebenaran di dalam hati kita. Keempat, orang-orang yang paling jahat sekalipun turut mengambil bagian dalam kesenangan hidup bersama orang-orang lain, meskipun mereka menyakiti sesama mereka ini dan melawan Allah. Hal ini sungguh merupakan suatu bukti yang menakjubkan tentang kesabaran dan kelimpahan Allah. Hanya satu kali saja Allah melarang matahari bersinar ke atas bangsa Mesir, yaitu ketika pada orang Israel ada terang di tempat kediaman mereka. Allah bisa saja membuat perbedaan seperti itu setiap hari. Kelima, karunia dari kelimpahan Allah kepada orang jahat yang memberontak terhadap-Nya mengajar kita untuk berbuat baik kepada orang yang membenci kita. Terutama kita harus ingat bahwa di dalam diri kita ini juga terdapat pikiran duniawi yang merupakan musuh bagi Allah, dan meskipun begitu, kita juga masih menikmati kemurahan-Nya. Keenam, hanya mereka yang berupaya menyerupai Dia terutama dalam hal kebaikan-Nya inilah yang dapat diterima sebagai anak-anak Allah.
[2] Supaya dalam hal ini kita dapat berbuat lebih banyak daripada orang lain (ay. 46-47). Pertama, pemungut cukai pun mengasihi teman-teman mereka. Secara alami mereka akan cenderung bersikap demikian, kepentingan membawa mereka ke situ. Berbuat baik kepada mereka yang berbuat baik kepada kita adalah sikap umum manusia, yang bahkan sangat terbukti juga dalam diri orang-orang yang dibenci dan dianggap hina oleh orang Yahudi. Para pemungut cukai bukanlah tokoh yang terkenal baik, namun mereka juga sangat bersyukur kepada orang-orang yang telah menolong mereka, dan bersikap ramah kepada orang-orang pada siapa mereka bergantung. Bukankah sepantasnya kita harus berbuat lebih baik lagi dari mereka? Dengan melakukan hal ini, kita melayani diri dan mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri. Bukan pahala, tetapi rasa hormat terhadap Allah dan kewajibanlah yang harus mendorong kita untuk melakukan lebih dari kecenderungan alami dan minat keduniawian kita. Kedua, itulah sebabnya kita harus mengasihi musuh-musuh kita, supaya kita dapat melebihi mereka. Jika kita harus lebih baik daripada para ahli Taurat dan orang Farisi, maka kita harus jauh lebih baik lagi daripada para pemungut cukai. Perhatikanlah, Kekristenan lebih daripada sekadar perikemanusiaan. Pertanyaan yang harus sering kita ajukan kepada diri sendiri adalah, “Hal apa yang kita lakukan lebih sering daripada orang lain? Hal baik apa yang kita kerjakan melebihi mereka?” Kita tahu lebih banyak daripada orang lain. Kita bicara lebih banyak mengenai Allah daripada orang lain. Kita mengakui dan telah berjanji lebih banyak daripada orang lain. Allah telah melakukan lebih banyak bagi kita, dan oleh sebab itu layak mengharapkan lebih banyak dari kita dibandingkan dari orang lain. Kemuliaan Allah lebih banyak dinyatakan di dalam diri kita daripada orang lain. Namun, apakah yang kita lakukan lebih banyak daripada orang lain? Di dalam hal apa kita hidup melebihi orang dunia? Bukankah kita masih bersifat duniawi, dan bukankah kita masih menjalani hidup dengan sifat orang duniawi yang jauh di bawah karakter Kristen yang sesungguhnya? Dalam hal inilah kita terutama harus melebihi orang lain: bahwa sementara semua orang ingin membalas kebaikan dengan kebaikan, kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan. Hal ini berbicara tentang asas kebenaran yang lebih mulia dan sesuai dengan peraturan yang lebih agung daripada yang dianut kebanyakan orang. Orang lain memberi salam kepada saudara-saudara mereka. Mereka menerima orang-orang yang segolongan, sejalan, dan sependapat dengan mereka, tetapi kita tidak boleh membatasi rasa hormat kita seperti ini, sebaliknya, kita harus mengasihi musuh-musuh kita, sebab bila tidak, apakah upah kita? Kita tidak dapat mengharapkan upah sebagai orang Kristen bila kita tidak melebihi kebajikan pemungut cukai. Perhatikanlah, orang-orang yang menjanjikan upah melebihi orang lain kepada diri sendiri harus belajar berbuat lebih baik daripada orang lain.
Terakhir, Juruselamat kita menutup pokok ini dengan nasihat berikut (ay. 48): “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Hal ini dapat dipahami sebagai 1) Secara umum, termasuk segala sesuatu yang harus kita ikuti untuk menjadi pengikut Allah sebagai anak-anak yang terkasih. Perhatikanlah, sudah menjadi kewajiban orang Kristen untuk menginginkan, mengarahkan diri, dan berusaha hidup sempurna dalam anugerah dan kekudusan (Flp. 3:12-14). Oleh karenanya kita harus belajar menyelaraskan diri kita dengan contoh dari Bapa sorgawi kita (1Ptr. 1:15-16). Atau, 2) Dalam hal khusus yang disebutkan tadi, yaitu untuk berbuat baik kepada musuh-musuh kita (Luk. 6:36). Kesempurnaan Allah adalah mengampuni kesalahan, menolong orang asing, dan berbuat baik kepada orang yang jahat dan yang tidak tahu berterima kasih. Semua hal ini merupakan kewajiban kita supaya kita menjadi serupa dengan Dia. Kita, yang berutang begitu banyak hingga berutang seluruh keberadaan kita pada kelimpahan Allah, patut meneladani hal ini semampu kita.
Online Tafsiran Alkitab

Kejadian, Mazmur, Amsal, Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Kisah Para Rasul, Roma, 1 & 2 Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1 & 2 Tesalonika, 1 & 2 Timotius, Titus, Filemon, Ibrani, Yakobus, 1 & 2 Petrus, 1 & 2 & 3 Yohanes dan Yudas
